Rabu, 28 September 2022

ASASI TALK:
Menjawab Pertanyaan Komikus Dondy Tan[1]

 

~Yosep Belay~

 

1.      Tahu Yesus Tuhan karena ada kata Tuhan di Bible dan di ajari oleh gereja. Jadi kelihatannya ibu itu hanya asal terima saja tanpa belajar dengan benar. Ada respons untuk orang2 seperti ini?

Jawab:

Ini sebenarnya alasan yang paling konyol untuk persoalan Kristologi atau soal keTuhanan Kristus. Bahkan anak sekolah minggu pun tidak akan menggunakan alasan yang bodoh seperti itu untuk mengakui keTuhanan Yesus. Hanya orang Kristen KTP yang tidak pernah baca Alkitab dan tidak pernah ikut katekisasi/pemuridan saja yang punya asumsi seperti itu.

Tapi perlu dikonfirmasi kalau ini memang permasalahan umum dalam pergumulan pastoral. Banyak orang Kristen yang hanya menjadi sekedar Kristen tetapi tidak mau dengan serius menggumuli apa dan bagaimana menjadi Kristen yang sebenarnya itu. Itu sebabanya pertanyaan-pertanyaan sepele ini sudah terlihat seperti sesuatu yang mengguncang iman padahal ini hanya karena kurang pengajaran saja

2.      Dalam Yoh 4:19 – “Kata perempuan itu kepada-Nya: ‘Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.’” Jadi Yesus Tuhan juga, nabi juga. Dondy tanya “Bisa gak Tuhan jadi nabi?” Lalu dijawab gak bisa. Versi BMIK: “’Sekarang saya tahu Tuan seorang nabi,’ kata wanita itu.” Di tunjukkan versi ENDE, KJV, dsb yang juga berikan kata “Tuan” bukannya “Tuhan”. Lalu Dondy katakan kenapa TB LAI terjemahkan “Tuhan”?

Jawab:

Baik, teks yang disoroti adalah Yoh 4:19,

John 4:19 N-VMS

GRK: ἡ γυνή Κύριε θεωρῶ ὅτι

NAS: said to Him, Sir, I perceive

KJV: saith unto him, Sir, I perceive that

INT: the woman Sir I understand that 

Kurie atau Kurios memang bisa merujuk pada dua arti yaitu “Tuhan” atau “Tuan” itu sebabnya kata ini digunakan secara bergantian untuk merujuk pada gelar bagi otoritas Allah sebagai Tuan yang berkuasa atas semesta, maupaun juga digunakan dalam pengetian penghormatan dalam relasi manusia seperti seorang hamba menyebut majikannya dengan “Tuan.”

Memang dalam ayat ini semua terjemahan berbahasa Inggris menggunakan kata “Sir” atau “Tuan” untuk merujuk pada kata Kurios, tetapi apakah LAI keliru karena menggunakan kata “Tuhan”? Tidak juga. Mengapa? Karena:

(1). Rentan makna kata tersebut juga mengacu pada “Tuhan” dalam pengertian yang berotoritas penuh. Maka dalam korelasinya dengan makna kata, penggunaan istilah “Tuhan” juga dapat dibenarkan. Memang konteks menentukan penetapan suatu makna kata sesuai struktur kalimat dan konteksnya tetapi dalam kaitannya dengan rentan semantik hal itu dapat diperbolehkan. Mengapa? karena alasan kedua. (2). Injil Yohanes dimulai dengan konstruksi Kristologi tinggi dimana Yesus secara langsung diidentifikasikan sebagai Sang Logos yang juga sehakekat dengan “Theos” (Yoh. 1:1) sehingga implikasinya, para pembaca secara langsung diberi tahu bahwa Sang Firman yang adalah Allah itu kini mengambil bagian dalam kemanusaan Yesus sehingga Dia adalah Tuhan sekaligus manusia. Yohanes telah mengantisipasi konsep dwi natur Kristus sejak awal dalam Injilnya sehingga secara implisit setiap orang yang membaca Injil Yohanes dan Kitab-kitabnya secara langsung memahami alur pikir mengenai Pribadi Kristus dalam kerangka dwi natur. Maka tidaklah keliru jika dalam ayat tersebut menggunakan kata “Tuhan.”  Saya pikir, Orang Kristen tidak akan keliru ketika mambaca ayat tersebut karena kerangka pikir kita sudah sejalan dengan apa yang Rasul Yohanes sampaikan dalam Injilnya. (3) Dalam teori penerjemahan terdapat tiga pendekatan, harfiah/kata per kata, paraphrase, dan dinamis. Tetapi ada satu lagi yang (mungkin) belum pernah dikembangkan yaitu model wacana tekstual. Setiap teks memiliki wacana atau konstruski pesan yang hendak digagas sehingga pertimbangan penerjemahan juga perlu melihat bagaimana konsep dan presuposisi si penulis dalam mengembangkan alur pikirnya melalui kata-kata yang digunakan dalam teks.

Bagaimana dengan gelar Yesus sebagai Nabi? Memang dalam misi Mesian-Nya salah satu gelar dari tiga gelar (Raja, Iman dan Nabi) besar Kristus di dunia adalah Nabi. Jadi tidak ada masalah dalam hal ini.

3.      Allah hanya buat Bapa dan Yesus disebut Tuhan.

Jawab: 

Ngawur. Yesus juga disebut sebagai Allah (Theos): Yoh. 1:1; 20:28; 1 Yoh. 5:20; Ibr. 1:8. Lagipula kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, baik kepada Bapa maupun kepada Yesus. Jadi baik Bapa maupun Yesus adalah Allah dan juga Tuhan dalam pengertian ontologis.

4.      Mat. 4:10 Yesus menyuruh menyembah kepada Allah, bukan meyembah Yesus. Kalau ada yang menyembah Yesus, itu yang nyuruh Yesus atau Gereja?

Jawab:

Kalau mau mengacu pada ayat itu maka seharusnya yang disuruh menyembah kepada Allah disitu Iblis, bukan orang lain. Kan di situ yang ada hanya Yesus dan Iblis yang sementara bercakap-cakap. Bagaimana mungkin, Yesus sementara menyuruh Iblis agar hanya harus menyembah kepada Allah, lantas kemudian percakapan itu kemudian diperluas kepada orang lain yang tidak terkait dalam percapakan itu. Ini kan ngawur. Asumsi DT itu akan benar jika dalam nas itu Yesus memerintahkan secara universal bahwa “baik Iblis maupun manusia” semua harus menyembah kepada Allah dan bukan kepada-KU. 

Tapi kita tetap memiliki dasar yang eksplisit dimana Bapa secara langsung memerintahkan para malaikat untuk menyembah Yesus, lih: Ibr. 1:6. Di situ para malaikat-Nya diperintahkan untuk menyembah (proskunesatosan—proskuneo) kepada Anak-Nya (Yesus). Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa orang percaya juga harus menyembah Yesus namun secara implisit Ya, karena pada ayat ke-8, Yesus disapa Bapa dengan sebutan Allah yang memiliki takhta. Maka implikasinya, Yesus yang adalah Allah juga layak menerima pujian, hormat, kemuliaan dan penyembahan yang setara dengan Bapa dan Roh Kudus.

5.      Yesus mati disalib untuk menebus dosa manusia. Jika seandainya bisa Kembali ke masa sebelum Yesus disalib, kira2 mba Tri akan lari seperti murid2 atau menolong Yesus supaya tidak disalib atau menolong tentara Romawi menyalibkan Yesus? Dari pertanyaan2 ini lalu Dondy Tan bertanya: “Kira2 apakah masuk akal ajaran Yesus mati untuk tebus dosa manusia?”

Jawab:

Analogi ini keliru karena dia membuat pengandaian (imajinatif yang sama sakali tidak mengubah sejarah di masa lalu) dan berharap memiliki implikasi logis dalam kondisi sekarang. Ini sesat pikir. Orang yang waras tidak akan membuat sebuah pengandaian bahwa, “Seandainya Anda bisa kembali ke masa penjajahan dan dapat melawan penjajah lebih awal maka kita akan mengalami kemerdekaan seratus tahun lebih cepat di tahun 1845. Dengan demikian teori Indonesia merdeka tahun 1945 itu tidak benar.” Ini merupakan gambaran dari analogy yang keliru dan sesat. Lebih bodoh lagi dengan dasar itu dia kemudian menghubungkan dengan konsep penebusan. Dia membuat sebuah pengandaian imajinasi lalu berharap imajinasinya itu menggugurkan fakta sejarah dan konsep keselamatan yang telah berlangsung dua ribu tahun lalu. Ini bukan argumentasi logis tapi halusinasi.

6.      Yesus menebus dosa manusia. Yesus rela tidak, disalib?

Jawab: Ngawur!

7.      Yesus pernah nyuruh murid2nya jual jubah beli pedang (Luk. 22:36). Beli pedang itu buat apa? Buat jaga2 karena mau ditangkap. Kalau Yesus misinya menebus, mengapa suruh beli pedang? Yesus di Getsemani Yesus berdoa pada Bapa sujud minta supaya seandainya cawan ini dilalukan padaKu, tetapi kehendakMu yang jadi. Jadi Yesus negosiasi dgn Bapa supaya tidak disalib. Saat disidang ditampar seorang penjaga Hanas dan Yesus protes salah apa ditampar. Padahal Dia ajar tampar pipi kiri diberi pipi kanan. Kenapa gak seperti itu? Kenapa tidak dijalani? Itu ajaran yang terlalu muluk-muluk. Disalib Yesus teriak “Eli, Eli lama sabakhtani.” Itu semua menunjukkan Yesus tidak rela disalib menebus manusia. Gak ikhlas.

Jawab:

·         Beli pedang buat jaga-jaga, artinya Yesus tidak rela di salib. Ini logika dari mana. Lihat: Mat. 26:52-54, baca dengan teliti.

·         Di Gesemani Yesus berdoa agar cawan dilalukan. Sebagai manusia memang dia gentar bukan menghadapi kematian (Yesus 4 kali menubuatkan kematian-Nya dan bahkan menegaskan bahwa “saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa”—Mat.14:41) namun kengerian hukuman akan dosa yang ditanggung-Nya.

·         Tampar pipi kiri beri pipi kanan itu merupakan model analogi Yesus dalam pengajaran, bukan dalam pengertian harfiah (Mat. 5:39b). Itu berarti: Tidak melawan orang jahat (ay. 39b) dan bahkan musuh sekalipun (ay. 44) dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan sebagaimana Allah yang tetap baik bagi para penjahat sekalipun (ay. 45). Bukankah ini yang dilakukan Yesus saat Dia mengampuni mereka yang menyalibkan Dia (Luk. 23:34)? Itu berarti Dia konsisten menjalankan ajaran-Nya. Lagipula tidak ada orang Kristen yang terlalu bodoh untuk memahami perumpamaan Yesus secara harfiah, karena jika demikian maka tangan, kaki dan mata kita sudah dipenggal dan dicungkil keluar karena mengikuti perumpamaan Yesus dalam Mat. 5:30; 18:8. Tetapi sekali lagi, para komikus (pada pelawak yang berpolemik seperti Dondy Tan) terlalu bodoh untuk sekedar memahami gendre sastra.

·         Eloi-Eloi lama sabakthani? (Mrk. 15:34) merupakan kutipan yang diambil dari Mzm. 22:2. Ini merupakan mazmur ratapan yang umum dinyanyikan dalam tradisi Yahudi. Mengenai hal ini dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dalam tradisi Yahudi, Yesus sementara bermazmur layaknya tradisi Yahudi pada masa itu. Kedua, penggenapan nubuatan. Meskipun Ia menerukan Mazmur, namun Ia sekaligus sementara menggenapi nubuatan dalam Mazmur 22 pada diri-Nya sendiri (lihat ay. 7-18!). Ketiga, seruan puncak karya penebusan. Seruan mazmur itu merupakan puncak karya penebusan dimana Yesus membayar luas dosa manusia sehingga Bapa memalingkan wajah-Nya dari Kristus. Jadi seruan Mazmur itu bukan berarti Yesus tidak rela disalib.

8.      Yang nyalib Yesus tentara Romawi atas perintah Pontius Pilatus atas tuntutan imam2 Yahudi. Imam bisa menangkap Yesus karena informasi Yudas Iskariot. Sebelum berkhianat, Yudas dirasuki iblis. Itu berarti semuanya berjasa. Harusnya mereka semua masuk sorga.

Jawab:

Perlukah kita berterima kasih kepada orang romawi, para imam, Yudas dan bahkan setan yang seolah-olah menjadi “pahlawan” bagi terjadinya momen salib? NO! Kita berterima kasih kepada Allah Tritunggal yang dalam rancangan-Nya yang kekal dan sempurna telah menempatkan orang-orang tersebut untuk menggenapi rencana-Nya supaya Saudara dan saya diselamatkan. Disinilah doktrin predestinasi memperjelas diskusi kita untuk menunjukan bahwa di dalam kebebasan tokoh-tokoh itu, mereka telah memilih secara bebas keputusan pribadi (dalam ruang dan waktu temporal) namun sejalan dengan keputusan kekal Allah (dalam konteks kekal) agar RENCANA ALLAH DIGENAPI DI DALAM MOMEN SALIB (lihat: Kis. 4:27-28). So who is the real hero? The Triune God—The Father, The Son and The Holy Spirit!

9.      1 Yoh 5:7-8 Katanya ayat itu tidak asli. Berarti KS nya palsu.

Jawab:

Teks tersebut memang masih diperdebatkan tetapi bukan berarti tidak asli. Teks tersebut memiliki dua sumber dan salah satu sumber yang lebih awal tidak mencantumkan ayat ke-7b sementara sumber yang lebih muda mencantumkan ayat ke 7b. LAI menggunakan tanda kurung pada ayat 7b untuk mengakomodasi kedua sumber tersebut. Hal ini justru merupakan kejujuran intelektual dan keterbukaan terhadap studi kritik teks.

Lucu sekali kesimpulan DT, karena ada ayat yang diasumsikan tidak asli maka kesimpulannya KS palsu. Ini logika model apa?

 

ANALISIS LANJUTAN:
Menguji Logika Dondy Tan


Pendahuluan

            Dalam salah satu video yang diunggah oleh Dondy Tan (polemikius Muslim) pada akun YouTubenya dengan judul “MURTADIN KEMBALI KE JALAN YANG BENAR – TRIANA” (https://www.youtube.com/watch?v=q_KTm-kEotU&t=634s), Dondy Tan memawancarai seorang wanita yang bernama mbak Tri (Triana) yang katanya dahulu seorang Muslim kemudian berpindah ke Kristen, kemudian berpindah lagi menjadi Muslim. Menariknya pada percakapan itu Dondy Tan membuat semacam pertanyaan dilematis untuk menjebak mbak Tri (dan juga orang Kristen lainnya) perihal penebusan dosa melalui konsep salib Kristus yang tidak logis. Meskipun argumentasi ini sebenarnya model argumentasi recehan, namun hal ini perlu ditanggapi sehingga kita dapat melihat signifikansi Salib Kristus dan sejauh mana konsistensi logika Dodny Tan. Karena Dondy Tan hendak menguji momen salib Kristus dengan logika, maka baiknya kita menjawab dan menguji logika dari Dodny Tan melalui argumentasinya.

            Berikut transkrip percakapan DT (Dondy Tan) dan Mbak Tri, sekaligus respons yang diberikan penulis:

Dondy Tan: Saya ingin menguji akal. Mbak Tri kan selama ini percaya bahwa Yesus mati di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Sekarang ibarat, jikalau, sendainya mbak Tri kembali/datang ke masa sebelum Yesus di salib. Mbak ngelihat Yesus mau di salib nih, kira-kita mbak Tri nih akan lari seperti murid-murid-Nya, atau akan menolong Yesus supaya tidak disalib, atau akan menolong tentara-tentara romawi nyalibin Yesus? Kira-kira yang mana Mbak?

Mbak Tri: Mau nolongin kasihan ya…

Dondy Tan:  Ketawa…. Kalau ditolongin Yesus nanti gak jadi, gak ada penebusan dosaaa… kalau mau ikut bantu nyalib, kasihan. Trus kalau mau lari, gimana? Nah sekarang murid-murid Yesus waktu Yesus di salib Murid-murid Yesus pada lari apa gak?

Tanggapan 1: Dilema Moralkah atau Hanya Trik Logika Sesat Pikir?

            Pertama, di bagian awal ini DT mau menguji logika mengenai peran mbak Tri, peran para Murid dan peran prajurit romawi. Perhatikan, DT memulai untuk mengajukan argumentasi yang katanya logis dengan sebuah pengandaian, “Sekarang ibarat, jikalau, sendainya mbak Tri kembali/datang ke masa sebelum Yesus di salib.” Dari pengandaian ini saja sudah catat logika. Kita tidak dapat menggunakan pengandaian (percakapan imajinatif) untuk berbicara mengenai logika dan mengubah setting fakta sejarah. Itu absurd! Saudara tidak mungkin merekonstruksi sejarah yang masuk akal dengan sebuah pengandaian, “seandainya….” karena tiga hal:
Pertama, sejarah masa lalu memuat situasi dan kondisi yang sangat kompleks sehingga tidak dapat direduksi dalam sebuah pengandaian sederhana saja. Kedua, untuk merekonstruksi masa lalu dan membuat pengandaian, maka perlu memahami secara utuh situasi, kondisi dan kerangka pikir orang-orang yang sementara hadir pada masa itu, dalam hal ini para Murid. Ketiga, kalimat pengandaian, “Seadainya” hanya merupakan analogi imajinatif, tidak dapat mengubah sejarah yang telah terjadi ribuan tahun lalu dan menolong apapun.

            Jika diterapkan kepada pernyataan DT, maka seandainya mbak Tri bisa kembali ke zaman Yesus disalib pun, dan seandainya mbak Tri bisa melakukan sesuatu hal (entahkah lari seperti para murid, entahkan membantu prajurit romawi, entahkan berusaha melepaskan Yesus), keseluruhan percakapan dan kesimpulan itu hanya sampai pada “seandainya” saja! Artinya itu hanya percakapan imajinatif yang tidak mengubah fakta dan menolong apa-apa. “Seandainya saya bisa terbang melintasi alam semesta” “Seandainya” merupakan kata keterangan yang merujuk pada sebuah analogi imajinatif. Pada faktanya Anda tidak bisa terbang, apalagi terbang melintasi alam semesta. Itu sebabnya, memulai asumsi dengan “seandainya” tidak menolong apapun karena itu hanya percakapan imajiner, bukan FAKTA.

            Percakapan imajinatif tidak bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan rasional karena “seandainya” tidak mengubah dan berimplikasi apa pun pada fakta sejarah yang telah terjadi 2000 tahun lalu. Kalaupun handak menggunakan analogi maka penggunaan logika analogi perlu aple to aple dalam penggambarannya. Jadi kebodohan analogi ini adalah, DT memulai dengan analogi—IMAJINASI tetapi dia berharap memperoleh implikasi logisnya dalam REALITAS FAKTUAL. Ini logika sesat DT yang pertama.

            Kedua, “seandainya” kita bisa kembali ke masa penyaliban Yesus maka kita perlu menempatkan diri dalam konteks historis dan pewahyuan pada masa itu yang tertutup. Artinya kita tidak bisa menggunakan pemahaman wahyu dan teologis yang telah komplit zaman ini untuk menghakimi konteks zaman para Rasul yang belum dibukakan secara lengkap. Ingat, masa Kristus adalah masa peralihan antara zaman Taurat dan Kasih Karunia (Perjanjian Lama dan Baru) dan para murid masih hidup dalam pola Taurat. Maka, kalau pun kita ingin masuk ke zaman Yesus maka setting worldview-nya harus pada tempatnya di zaman itu. Kita harus menempatkan diri dalam koteks zaman dan pemikiran saat itu. Justru adalah kebodohan jika kita hendak kembali ke masa itu namun menggunakan cara pikir kita saat ini. Sama halnya dengan saudara hendak kembali ke zaman tetapi dengan cara pikir orang modern lalu saudara menyalahkan orang-orang primitif karena tidak berpikiran dan berperilaku seperti saudara.

            Sekali lagi logika sesat pikir digunakan DT di sini. DT memaksakan logikanya untuk membuat pengandaian absurd dengan memaksakan pemahaman kekristenan modern kepada para Rasul, seolah-olah mereka sedang berada pada dilemma moral antara menolong Yesus salah tidak menolong Yesus juga salah. Padahal pemahaman para rasul akan karya penebusan Kristus itu belum lengkap hingga pasca kebangkitan (Lihat: Luk. 24:25-27; 44-45) dan puncaknya pada Pentakosta (Kis. 2). Maka seandainya pun kita kembali ke masa itu, kita harus menggunakan worldview para rasul ini. Tidak bisa menggunakan cara pikir kita saat ini. Tetapi DT tidak, dia memaksakan asumsi dan cara pandang kekristenan masa kini untuk menghakimi konteks saat itu.

            Lantas perlukah kita berterima kasih kepada orang romawi, para imam, Yudas dan bahkan setan yang seolah-olah menjadi “pahlawan” bagi terjadinya momen salib? NO! Kita berterima kasih kepada Allah Tritunggal yang dalam rancangan-Nya yang kekal dan sempurna telah menempatkan orang-orang tersebut untuk menggenapi rencana-Nya supaya Saudara dan saya diselamatkan. Disinilah doktrin predestinasi memperjelas diskusi kita untuk menunjukan bahwa di dalam kebebasan tokoh-tokoh itu, mereka telah memilih secara bebas keputusan pribadi (dalam konteks fenomenal/temporal) namun sejalan dengan keputusan kekal Allah (dalam konteks noumenal/kekal) agar RENCANA ALLAH DIGENAPI DI DALAM MOMEN SALIB (Kis. 4:27-28). So who is the real hero? The Triune God—The Father, The Son and The Holy Spirit!

            Ketiga, “seandainya” si mbak bisa kembali ke zaman Yesus pun apa yang bisa dilakukan? Tidak ada yang dapat dilakukan karena konteks saat itu tidak mengijinkan. Lihat bagaimana Petrus yang diintimidasi oleh beberapa orang yang mengenalinya sebagai pengikut Kristus sehingga ia pun lari (Mat. 26:69-75). Jika Petrus saja yang seorang pemberani menyingkir lantas apa yang hendak dilakukan oleh si mbak? Kemudian, konteks eksekusi mati yang diderita oleh Kristus telah dimulai dengan ketegangan antara para Imam, Farisi, Tua-tua, Orang Israel, Herodes dan Pemerintah Romawi (Pilatus). Dalam situasi tegang dan mengerikan itu kira-kira mau berbuat apa? Jadi pengandaian logika disini pun sama sekali tidak membatu dan sama sekali tidak relevan.

            Keempat, “seandainya” pun kita bisa kembali pada saat penyaliban Yesus pun, situasi saat itu tidak mengijinkan intervensi apapun karena KARYA ALLAH DI KALVARI HARUS TERGENAPI (Yesus menegaskan kematian-Nya bahkan sebanyak empat kali—Mat. 16:21; 17:22; 20:17-19; 26:1-5. Bahkan penolakkan Petrus terhadap pernytaan Yesus mengenai kematian-Nya diresponi Yesus dengan hardikan keras sebagai pemikiran yang dari Iblis—Mat. 16:21-23. Lihat juga Lukas 22:37; 24:44. Ini juga merupakan penetapan kekal Allah—Kis. 2:23). Itu sebabnya setelah Petrus menebas telinga hamba Imam Besar, respons Tuhan Yesus: “Maka kata Yesus kepadanya: "Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” (Mat. 26:52-54; Lihat juga: Yoh, 18:11). Logika DT keempat yang mentok dalam penalaran.

            Kelima, “seandainya” pun kita harus berhadapan dengan peristiwa salib, maka pemaknaan itu sungguh sangat berbeda. Dalam koteks itu kita tidak dapat berbuat apa-apa karena KARYA ALLAH MENGRAHUSKAN MOMEN SALIB TERJADI sesuai penjelasan di atas, namun kita akhirnya juga tahu bahwa KRISTUS TIDAK SELAMANYA MATI, DIA BANGKIT DAN HIDUP! Sehingga kedukaan di Jumat agung itu berubah menjadi sukacita keselamatan yang kekal pada Minggu paskah. Puji Tuhan! Itu sebabnya tidak heran Paulus dengan tegas berkata, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu….Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.” (1 Kor. 15:14, 17). Mengapa kita harus mengikuti logika jongkok Dondy Tan dengan hanya berfokus pada peristiwa penyaliban? Bukankah puncak karya Kristus tidak hanya sampai pada peristiwa salib?!

            Ingat, peristiwa salib bukan akhir dari karya Kristus, itu hanya salah satunya saja! Jadi logika sesat pikir DT hanya mencoba untuk menjebak pemahaman si mbak Tri (dan orang Kristen) pada situasi salib, padahal kita tidak berhenti di situ, kita memandang jauh ke depan pada momen kemenangan Kristus saat kebangkitan dan kenaikan Kristus. Maka logika jongkok DT itu sekali lagi tidak berarti apapun kalau kita tahu bahwa SALIB BUKAN AKHIR DARI MISI KRISTUS, TETAPI AWAL MULA PENGGENAPAN JANJI KESELAMATAN bagi kita dimana melaluinya “kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1 Ptr. 1:18-19; Lihat juga: Kis. 13:38-39).
Sebaliknya, justru jika kita memperoleh kesempatan untuk menyaksikan peristiwa salib secara langsung dengan pemahaman saat ini maka kita akan sama-sama menyaksikan bagaimana ketelanjangan, keberdosaan, kebejatan dan derita hukuman kekal yang seharusnya kita tanggung namun ditimpahkan kepada Kristus (Yes. 53:3-6). Kita juga melihat bagaimana Allah mengasihi kita dengan menyerakan anak-Nya (Yoh. 3:16), dan bagaimana kasih Kristus yang besar bagi kita untuk bersedia menjadi “Anak Domba Allah” yang menebus dosa kita (Yoh. 1:29; Mat. 20:28).

Menguji Silogisme Dondy Tan

Transkrip percakapan:

Dondy Tan:  …. Nah sekarang murid-murid Yesus waktu Yesus di salib Murid-murid Yesus pada lari apa gak?

Mbak Tri: Lari…

Dondy Tan: Lari, kenapa pada lari?

Mbak Tri: Ketakutan.

Dondy Tan: Ketakutan. Kenapa takut, apa mereka gak tahu kalau dosa mereka mau ditebus?

Mbak Tri: Tertawa…

Dondy Tan: Ketawa… Iya kan? Kalau mereka lari berarti mereka tidak tahu kalau dosa mereka mau ditebus. Logikanya kan begitu.

Mbak Tri: Iya.

Dondy Tan: Kalau mereka tahu dosanya mau ditebus, pasti mereka bantuin tentara romawi nyalibin Yesus biar dosanya ditebus, bener gak? Berarti kira-kira masuk akal gak Mbak, ajaran yang bilang bahwa Yesus mati untuk menebus dosa manusia? Nah, kira-kira menurut Mbak Tri ajaran itu masuk akal gak gitu?

Tanggapan 2: Uji Silogisme

Rumus Silogisme Kategoris:

Premis 1 : Semua yang merupakan bagian dari “A” adalah “B”

Premis 2 : “C” merupakan bagian dari “A”

Kesimpulan : “C” adalah “B”

Penerapannya:

Premis 1 : Semua manusia yang bernama Dondy Tan tidak paham alur berpikir logis (M – P)

Premis 2 : Pria yang berbicara bersama mbak Tri bernama Dondy Tan (S – M)

Kesimpulan : Pria itu tidak paham alur berpikir logis (S – P)

__________________________________________

Silogisme Mbak Tri:

Premis 1 : Saat peristiwa salib murid-murid ketakutan dan melarikan diri

Premis 2 : Petrus dan kawan-kawannya adalah murid-murid

Kesimpulan : Pertus dan kawan-kawanya ketakutan dan melarikan diri (BENAR SEBAGIAN!)

Kebenaran : Mereka ketakutan, tetapi tidak semua melarikan diri. Yohanes tetap berada di samping Kristus sampai prosesi penyaliban selesai (Yoh. 19:26-27).

Silogisme Absurd  DT (1):

Premis 1 : Semua murid ketakutan dan melarikan diri karena tidak tahu kalau dosa mereka mau ditebus.

Premis 2 : Petrus dkk adalah para murid.

Kesimpulan : Petrus dkk, ketakutan dan melarikan diri karena mereka tidak tahu dosanya mau ditebus. (SALAH!)

Kebenaran : Semua murid ketakutan. Ada yang melarikan diri tetapi ada yang tidak. Mereka semua belum memahami makna salib Kristus sebagai penebusan sampai pasca kebangkitan dan pentakosta.

Silogisme Absurd  DT (2):

Premis 1 : Semua murid ketakutan dan melarikan diri.

Premis 2 : Yohanes adalah salah satu murid.

Kesimpulan : Yohanes ketakuatan dan melarikan diri. (SALAH!)

Kebenaran : Yohanes (mungkin saja) ketakutan tetapi tidak melarikan diri.

Silogisme Absurd DT (3):

Premis 1 : Jika para murid tahu dosa mereka mau ditebus, maka para murid tidak melarikan diri namun mereka akan membantu prajurit romawi nyalibin Yesus biar dosanya ditebus.

Premis 2 : Yohenes adalah salah satu murid.

Kesimpulan : Yohanes tidak melarikan diri dan ia membantu para prajurit Romawi menyalibkan Yesus karena dia tahu dosanya akan ditebus. (SALAH!).

Kebenaran : Yohanes tidak melarikan diri. Dia juga belum memahami maksud dan tujuan karya salib Kristus (lih. penjelasan di atas).

            Dari alur silogisme ini terlihat bahwa justru silogisme si mbak Tri itu sedikit lebih rasional dan logis daripada Dondy Tan meskipun si mbak ikut terjebak dalam logika sesat Dondy Tan. Yang waras di sini justru si mbak Tri. Silogisme Dondy Tan justru menunjukkan sesat pikir. Sekali lagi logika sesat pikir ditunjukkan di sini. Tetapi bukan hanya itu, ada sesat pikir lainnya dalam argumentasi lanjutan DT. Jika kita bertanya, apa hubungannya ketidaktahuan para murid dan melarikan diri? DT menjawab bahwa: “Kalau mereka tahu dosanya mau ditebus, pasti mereka bantuin tentara romawi nyalibin Yesus biar dosanya ditebus, bener gak?” Ini sebenarnya jawaban yang ngawur dan dipaksakan. Seperti yang sudah dijelaskan, tidak semua murid Yesus melarikan diri. Yohanes ada bersama dengan Kristus sampai kematian-Nya (Yoh. 19:26-27). Yohanes tidak memberikan respon apapun saat itu selain menunggu sampai prosesi penyaliban selesai sehingga tidak bisa diasumsikan bahwa Yohanes “harus sudah tahu” bahwa salib merupakan penebusan dosanya dan ia (Yohanes) “haruslah membantu” prajurit romawi menyalibkan Yesus. Penggunaan kata “harus” pada argumentasi DT itu menunjukkan pemaksaan asumsi yang justru tidak logis karena bertentangan dengan fakta-fakta peristiwa salib.

            Dari penjelasan ini terlihat jelas bahwa DT memanipulasi dan memaksakan cara pandangnya seolah-olah para murid harus sudah tahu bahwa momen salib adalah penebusan dosa mereka sehingga dengan logika absurd ini dia kemudian menggiring opini untuk menunjukkan seolah-olah ada dilema di sana bahwa mereka seharusnya juga membantu prajurit romawi. Padahal tidak demikian. Di atas sudah dijelaskan dan dibuktikan bahwa karya salib Kristus dalam konteks penebusan masih menjadi misteri bagi para murid sampai pada momen kebangkitan dan Pentakosta ketika Kristus sendiri menjelaskannya kepada mereka. Maka memaksakan asumsi yang memperhadapkan posisi para murid seolah-olah dilematis di momen salib, justru menunjukkan kegagalan logika. Ini gaya-gaya manipulasi dan penipuan bukan berdasarkan pertimbangan logika.

Kesimpulan

            Dari analisis singkat ini jelas terlihat ketidakkonsistenan dalam argumentasi dan prinsip logis. Jika diuji secara kritis dengan alur pendekatan logika, maka asumsi dan argumentasi Dondy Tan terlihat begitu receh. Sebagai kesimpulan maka dapat dilihat bahwa DT melakukan tiga kesalahan logika yang fatal: Pertama strawman fallacy, kedua, penggiringan opini dan ketiga, penipuan argumentatif.

            Sebagai penutup, sebuah refleksi yang tepat oleh John Stott dapat mempertegas karya salib kristus sekaligus menunjukkan posisi para Murid mengenai Salib-Nya,

Secondly, I turn to Peter with confidence, because at the beginning he was himself very reluctant to accept that Christ had to suffer in the way that he did. He had been the first to acknowledge the uniqueness of who Christ was, but he was also the first to deny the need for his death. He who had declared, ‘You are the Messiah,’ shouted, ‘Never, Lord!’ when Jesus began to teach that the Christ must suffer. Throughout the remaining days of Jesus’ ministry, Peter held on in his dogged hostility to the idea of a Christ who would die. He tried to prevent Jesus from being arrested, and, even after this proved futile, followed him at a distance. In sullen disappointment, he denied three times that he even knew him, and the tears he wept were tears of shame, yes, but also despair.

Only after the resurrection, when Jesus taught the apostles from the Bible that it was ‘necessary that the Christ should suffer these things and enter into his glory’, did Simon Peter at last begin to understand and believe. Within a few weeks he had grasped the truth so firmly that he could address the crowd in the temple cloisters with the words, ‘God fulfilled what he had foretold through all the prophets, saying that his Messiah would suffer’, and his first letter contains several references to Christ’s sufferings and glory.

We too may at first be reluctant to admit that the cross was necessary and slow to understand its meaning, but if anyone can persuade and teach us it will be Simon Peter. (John R.W. Stott, Basic Christianity, 108).

Terjemahan:

Kedua, saya berpaling kepada Petrus yang sangat yakin (akan karya salib Kristus), karena pada awalnya dia sendiri sangat enggan untuk menerima bahwa Kristus harus menderita seperti yang dia alami. Dia adalah orang pertama yang mengakui keunikan siapa Kristus itu, tetapi dia juga orang pertama yang menyangkal perlunya kematian-Nya. Dia yang telah menyatakan, 'Engkau adalah Mesias,' berteriak, 'Tidak pernah, Tuhan!' ketika Yesus mulai mengajarkan bahwa Kristus harus menderita. Sepanjang sisa dari hari-hari pelayanan Yesus, Petrus mempertahankan sikap permusuhannya terhadap gagasan tentang Kristus yang akan mati. Dia mencoba untuk mencegah Yesus ditangkap, dan, bahkan setelah ini terbukti sia-sia, mengikutinya dari jauh. Dalam kekecewaan dan pustus asah ini, dia menyangkal tiga kali bahwa dia bahkan mengenal-Nya, dan air mata yang dia tangisi adalah air mata rasa malu, ya, tetapi juga keputusasaan.

Hanya setelah kebangkitan, ketika Yesus mengajar para rasul dari Alkitab bahwa 'adalah perlu bahwa Kristus harus menderita hal-hal ini dan masuk ke dalam kemuliaan-Nya', Simon Petrus akhirnya mulai mengerti dan percaya. Dalam beberapa minggu dia telah memahami kebenaran dengan begitu kuat sehingga dia dapat berbicara kepada orang banyak di serambi bait suci dengan kata-kata, 'Tuhan menggenapi apa yang telah dia nubuatkan melalui semua nabi, dengan mengatakan bahwa Mesiasnya akan menderita', dan surat pertamanya berisi beberapa referensi tentang penderitaan dan kemuliaan Kristus.

Kita juga mungkin pada awalnya enggan untuk mengakui bahwa salib itu perlu dan lambat untuk memahami maknanya, tetapi jika ada yang bisa membujuk dan mengajari kita itu adalah Simon Petrus. (John R.W. Stott, Dasar Kekristenan, 108).

 

 



                [1]Lihat bahasan lengkapnya pada link berikut: https://youtu.be/1BMdgV4tt-A (Chanel YouTube: “Albert Rumampuk”).