Rabu, 06 Februari 2019

POLEMIK PERSEPULUHAN


PERSEPULUHAN, POLEMIK YANG TAK KUNJUNG USAI
[Mengurai Kekusutan Argumentasi Kalangan Kontra Persepuluhan]
Oleh : Yosep Belay

Pendahuluan.

          Beberapa hari lalu, penulis berdiskusi dengan beberapa sahabat di salah satu grup facebook mengenai “Persembahan persepuluhan” (baca: “PP”). Pertanyaan seputar dasar biblikal, konteks historis, konsep ibadah, masih relevankah, hingga isu-isu etik yang berkembang, tak pelak lagi muncul sebagai dalil-dalil yang memanaskan suasan diskusi. Tema pembahasan ini pun sering kali membingungkan umat Tuhan karena lain dominasi, lain pula pemahaman dan praktek PP. Kalangan gereja-gereja Mainstream (Katolik dan Protestan) tidak mempratekkan PP, sementara si “adik bungsu” (Pentakosta dan Kharismatik, juga sebagian kalangan Reformed) mempertahankan konsep PP dalam praktik ibadah. Lantas bagaimanakah kita sebagai Umat Tuhan menyikapi hal ini?
 
Pandangan dari Kedua Pihak Pro dan Kontra.

          Menelusuri sumber-sumber[1] yang dapat dijadikan rujukan pembahasan mengenai tema ini pun pada akhirnya akan bermuara kepada tiga pemahaman yang berbeda, ditambah satu kelompok lainnya yang mempraktekkan PP namun tidak ingin direpotkan untuk menggumuli dasar biblikalnya. Kalangan pertama yaitu, mereka yang kontra terhadap PP, dapat diwakili oleh penulis situs saparanpagibilbika.org[2] yang mencoba untuk mengkaji dari berbagai sumber. Kalangan yang pro PP diwakili oleh Pdt. Stephen Tong[3], Pdt. Erastus Sabdono[4], Pdt. Beny Solihin[5], dan yang ketiga adalah kalangan “Diplomatis” yang diwakili oleh situs gotquestions.org, sabda.org[6] dan tanyaalkitab.com[7], serta satu kelompok terakhir, yaitu “kalangan cuek ajaran”. Kalangan yang terakhir ini jarang menyuarakan konsepsi teologis mereka mengenai PP secara jelas entah karena kurang paham, bingung, atau mungkin juga sengaja menghindar. Kalangan demikian rentan untuk menyesatkan dan disesatkan karena tidak memiliki pondasai Alkitab yang memadai serta hanya ikut-ikutan saja. Berikut, penulis mencoba untuk mengkaji secara singkat dasar-dasar argumentasi yang dikemukakan oleh masing-masing pihak (kecuali “kalangan cuek ajaran”) sebagai pedoman praktik PP dalam ibadah gerejawi.

          Kalanga kontra PP, dengan inisial Saudara/i “BP dalam kajiannya memberikan tinjauan teologis, historis, gramatikal, serta beberapa isu kontemporer mengenai bobroknya menejemen gereja dalam praktik PP. Suatu kajian yang menurut penulis cukup lengkap dan sistematis. Dalam kajiannya tersebut, ia mengemukakan argumentasinya sebagai berikut,

          “Persepuluhan adalah milik bangsa Israel kuno. Ini secara esensial merupakan pajak pendapatan mereka. Anda tidak pernah menemukan persepuluhan oleh Kekristenan abad I dalam Perjanjian Baru. Bersama kematian YESUS, semua upacara dan simbol-simbol agama yang dimiliki orang Yahudi telah dipakukan pada salib-Nya dan dikuburkan! tidak pernah muncul lagi untuk menghukum kita. Dengan alasan ini kita tidak pernah melihat orang-orang Kristen memberikan perpuluhan di dalam Perjanjian Baru. … Persepuluhan, sekalipun alkitabiah, bukan Kekristenan. YESUS KRISTUS tidak menyatakan hal itu. Kekristenan abad pertama tidak melakukan hal tersebut dan selama 300 tahun umat Allah tidak mempraktekkannya. Persepuluhan tidak menjadi praktek yang diterima meluas di kalangan Kekristenan sampai abad ke-delapan. Pemberian di dalam Perjanjian Baru adalah sesuai kemampuan seseorang. Orang- orang Kristen memberikan pertolongan kepada orang-orang percaya yang lain dan juga mendukung pekerja-pekerja apostolik, mendanai perjalanan dan perintisan jemaat.Persepuluhan hanya disebutkan 4 kali dalam Perjanjian Baru tetapi tidak satu pun dari konteks itu diaplikasikan kepada Kekristenan. Sekali lagi, persepuluhan merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan dipisahkan secara khusus untuk melayani Tuhan. Bersama dengan kedatangan YESUS KRISTUS ada sebuah “perubahan hukum”–yang tua “dibatalkan” dan menjadi usang oleh karena yang baru. Kita semua sekarang adalah imam, bebas berfungsi di dalam rumah Allah. Hukum Taurat, keimamatan yang lama, dan persepuluhan semuanya telah disalibkan. Tidak ada lagi sekarang tirai bait Allah, pajak rumah Allah atau pun keimamatan khusus yang berdiri di antara Allah dan manusia.”[8]

          Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kalangan kontra PP mendasari argumentasinya dengan tiga dasar argumentasi. Pertama, bahwa praktik PP (Perpuluhan) tidak lagi relevan dalam konsep persembahan dalam tata ibadah gereja Perjanjian Baru karena merupakan konsep persembahan ibadah Perjanjian Lama yang masih terikat dengan sistem keimaman, Taurat, dan berpusat pada Bait Allah. Kedua, tidak ada dasar Alkitab dalam Perjanjian Baru yang menerankan secara eksplisit maupun implisit mengenai PP. Dan ketiga, sepanjang sejarah gereja, tidak dijumpai praktek PP.

          Sementara pihak yang pro PP, memiliki dalil yang berbeda pula. Pak Tong dan Pak  Erastus menandaskan dasar argumentasi mereka pada Imamat 27:30, “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.”

Yang intinya persembahan “Persepuluhan adalah milik Tuhan”. Apa yang menjadi milik Tuhan, harus dikembalikan kepada Tuhan. Lebih jauh, Pdt. Stephen Tong  menegaskan suatu perbedaan mendasar antara “Persembahan” dan “Persepuluhan”. Menunut beliau, “Persembahan” adalah suatu pemberian sukarela yang diberikan umat kepada Tuhan. Pemberian sukarela itu pantas disebut sebagai “Persembahan”. Namun Persepuluhan berbeda. Persepuluhan tidak dapat dikategorikan sebagai “Persembahan” karena itu adalah milik Tuhan. Maka ketika memberikan Persepuluhan, kita bukan memberikan “persembahan” kepada Tuhan tetapi “mengembalikan” apa yang menjadi milik-Nya.

          Tidak hanya sampai disitu, kedua Tokoh tersebut juga menyoroti secara tajam mengenai motivasi dan etika sebagai seorang hamba Tuhan, serta menejemen gerejawi yang bobrok dalam pengelolahan PP. Baik seorang hamba Tuhan, maupun jemaat harus memeriksa hatinya dalam memberikan dan mengelola PP. Ini yang menjadi dasar argumentasi dan kritik dari kedua hamba Tuhan tersebut. Singkatnya, argumentasi kedua hamba Tuhan ini bermuara pada pernyataan Tuhan Yesus, “…kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat. 22:21), dengan catatan kritis bahwa PP harus dikelola secara bertangung-jawab dihadapan Tuhan dan Jemaat.

          Sementara Pdt. Beny Solihin mendasari argumentasinya dengan pemahaman teologis yang dihubungkan dengan karya salib Kristus. Beliau mengatakan bahwa, 

      “Apakah persembahan persepuluhan itu wajib atau tidak? Tidak wajib. Karena sesuatu yang “Wajib” mengandung konsekwensi dosa jika tidak dilakukan. Apakah perpuluhan itu harus atau tidak? Harus. Harus karena kita adalah orang-orang yang ditebus oleh darah Kristus”.[9]
 
Penebusan Kristus bagi Orang percaya tak dapat dibayar oleh apapun, maka seharusnya bukan hanya persepuluhan, namun seluruh hidup kita perlu dipersembahkan kepada Tuhan. Di sini Pdt. Beny memiliki pemahaman yang serupa namun tidak sama dengan Pdt. Erastus, mereka sama-sama menekankan bahwa bukan hanya “sepersepuluh” sebagai milik Tuhan, tetapi sesungguhnya keseluruhan berkat dan kehidupan kita adalah milik Tuhan. Perpuluhan hanyalah representasi dari kesadaran akan hal tersebut (anugerah penebusan Kristus kepada kita) maka keseluruhan eksistensi kehidupan umat Tuhan, haruslah dipersembahkan kepada-Nya. Dasar argumentasi ini juga dikemukan oleh Indriatmo salah satu penulis sabda.org

        Tetapi rupanya Roma 12:1 banyak digunakan sebagai 'perisai' oleh orang Kristen untuk menghindar memberikan persembahan persepuluhan. Menurut mereka, mempersembahkan seluruh hidup itu jauh lebih besar nominalnya daripada persembahan persepuluhan. Itu kelihatannya masuk akal, tetapi kenyataannya yang sebenarnya adalah: bagaimana orang bisa mempersembahkan seluruh tubuhnya, jika untuk memberikan persembahan persepuluhan saja susah sekali.[10]

Argumentasi ini memiliki titik tolak yang serupa dengan kalangan pro PP, hanya saja lebih bersifat pembelaan yang rasional dan menantang.

          Kelompok terakhir—“Diplomatis”—tidak memberikan dasar biblikal yang tegas, namun hanya berupa beberapa penafsiran “apa adanya” untuk mengatasi polemik di kalagan umat Tuhan. Dalam kajiannya, gotquestions.org memberikan kesimpulan pejelasannya sebagai berikut,

          “Meski demikian, orang Kristen tidak perlu merasa diwajibkan memberi persepuluhan. Orang Kristen sepatutnya memberi sesuai dengan apa yang mereka mampu, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh.” Kadang-kadang, ini berarti memberi lebih dari persepuluhan, kadang-kadang, ia kurang dari persepuluhan. Setiap orang Kristen perlu berdoa dengan sungguh-sungguh dan meminta hikmat dari Allah mengenai persembahannya, persepuluhan, dan berapa banyak yang harus dia berikan (Yakobus 1:5). Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).”[11]

Persepuluhan tidak diwajbkan, namun memberi sesuai dengan berkat yang diperoleh—kadang lebih dari PP, kadang kurang, it’s Ok. Dan jangan lupa berdoa untuk meminta hikmat, kemudian berilah sesuai kerelaan hati. Karena tidak pro atau pun kontra, penulis artikel ini menyarankan suatu stardar yang umum-umum dan biasa saja, “berdoa dahulu, gunakan hikmat, dan berilah tanpa paksaan”, selesai. 

          Berbeda dengan penjelasan di atas yang meskipun tidak tegas namun masih jelas dan dapat dipahami, penulis tanyaalkitab.com justru memberikan dasar argumentasi yang tidak jelas arahnya,

          Saya tidak akan bilang apakah persepuluhan itu wajib atau harus, karena pasti akan ada yang menyangkal dengan berkata bahwa itu hanyalah hukum taurat dan tidak pernah diajarkan oleh Yesus. Namun yang saya tekankan di sini adalah bahwa ada JANJI Tuhan dibalik persepuluhan ini. Kasih karunia Tuhan tidak ada syarat, tetapi JANJI Tuhan bersyarat. Untuk mendapatkan JANJI Tuhan seperti yang ada di Maleakhi 3:10 tadi, kita harus terlebih dahulu setia dalam persepuluhan. Benar sekali hukum taurat bisa berakhir dengan adanya penggenapan oleh Tuhan Yesus, tapi saya yakin JANJI Tuhan tidak akan pernah berakhir dan dibatalkan, sekali Tuhan berjanji, Tuhan pasti akan menepatinya. Ya, JANJI Tuhan di sini adalah berkat berkelimpahan dari Tuhan. Mau? Setialah dalam memberikan persepuluhan. Tapi ingat, dalam memberi persepuluhan kita harus memberikannya dengan penuh sukacita.”[12]

Untuk menghindari polemik, si penulis mengeksegesis (atau mungkin eisegesis?) ayat tersebut dengan satu sudut pandang baru yang berfokus pada “Janji Tuhan yang tidak dapat dibatalkan” sebagai iming-iming berkat. Eksegesis yang berbahaya ini memperlihatkan hal yang tidak konsisten seperti kritik yang dilayangkan oleh kalangan kontra PP. Maksudnya, jika harus konsisten untuk mempraktekkan PP dengan dalil ayat tersebut, maka si penulis juga harus konsisten bahwa PP harus diberikan di “rumah perbendaharaan atau salah satu bilik di bait Allah” dan “supaya ada persediaan makanan” sesuai dengan bunyi ayatnya, terlebih perihal “janji Tuhan” yang ia tekankan. Suatu argumentasi yang pro PP, dengan dalil penafsiran yang berbahaya.

Pandangan Penulis Mengenai Persepuluhan.
      Dilahir-barukan dalam komunitas gereja yang mempraktekkan persepuluhan, tidak lantas membuat penulis hilang daya kritik. Sebagai jemaat yang berusaha untuk taat dan mengasihi Tuhan, kita dituntut untuk menguji segala sesuatu terutama mengenai dasar-dasar keyakinan yang kita pegang (1 Tes. 5:21) tak terkecuali mengenai praktek persepuluhan (PP) dalam ibadah gerejawi. Pemahaman yang benar akan mendorong kita untuk memberikan dengan kesadaran dan hati yang mengasihi Tuhan. Sebaliknya pemahaman yang keliru, akan menjerat kita dalam keterpaksaan dan beban ketika memberikan PP.

          Penulis secara pribadi masuk dalam kelompok kedua yang pro dan mempraktekkan perpuluhan. Kalimat “mempraktekkan perpuluhan” harus penulis tambahkan untuk menegaskan kepada pembaca bahwa penulis bukan hanya menerima konsep PP dalam pemahaman teologis, namun juga mempraktekkannya dengan setia. Praktek tersebut bukan pula oleh karena persoalan “janji” berkat Tuhan, namun semata-mata karena prinsip dasar dan pemahaman teologis pribadi. Hal ini perlu ditegaskan karena meskipun sebagian besar umat Tuhan dalam gereja modern yang pro PP, namun hanya sedikit yang setia mempraktekkan PP. Tentu saja hal itu tidak memiliki makna apa pun selain hanya sebatas Lips service.
 
          Tulisan ini dibuat pun oleh karena dorongan teologis yang kuat untuk menjawab setiap kritik pemikiran teologis yang berkembang terhadap praktek PP (yang terkadang bahkan dengan gaya bahasa dan nada yang kasar). Karena punulis hanya merupakan jemaat (bukan Pendeta atau Gembala Sidang) maka tentu tulisan ini tidak memiliki motif tertentu yang menyesatkan dan mencoba untuk merauk keuntungan secara tidak wajar dari Jemaat. Kiranya Tuhan menjauhkan dan menghukum siapapun yang mencoba mengambil keuntungan pribadi dengan motif-motif yang sesat dari praktek PP gerejawi.

Menjawab Pihak Kontra PP.

          Pada bagian awal, penulis akan mengkrisi dasar argumentasi kalangan kontra terhadap PP yang diwaliki oleh penulis sarapanpagibiblika. Seperti yang telah dijabarkan di atas, pihak yang kontra terhadap PP mengemukakan tiga dasar sebagai argumentasi mereka terhadap praktik PP yang tidak lagi relevan bagi gereja. Argumentasi ini disusun secara sistematis berdasarkan tiga poin keberatan yang diberikan beserta tanggapannya.

          Argumen pertama, bahwa praktik PP (Persepuluhan) tidak lagi relevan dalam konsep persembahan gerejawi karena merupakan konsep persembahan ibadah Perjanjian Lama yang masih terikat dengan sistem keimaman, Taurat, dan berpusat pada bait Allah. Sementara gereja dalam masa Perjanjian Baru setelah kedatangan Kristus memiliki pola yang berbeda karena,

Bersama kematian YESUS, semua upacara dan simbol-simbol agama   yang dimiliki orang Yahudi telah dipakukan pada salib-Nya dan      dikuburkan! tidak pernah muncul lagi untuk menghukum kita. Dengan    alasan ini kita tidak pernah melihat orang-orang Kristen memberikan    perpuluhan di dalam Perjanjian Baru.”[13]

 
          Pemahaman demikian adalah pemahaman yang tidak tepat dan salah kaprah. Kematian Kristus memang “meniadakan hukum Taurat” sebagai penggenapan di dalam kematian-Nya. Akan tetapi jenis “Hukum Taurat” mana yang dimaksud, perlu diperjelas. Di dalam Surat Efesus mamang tertulis bahwa,
“Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untukmenciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (Ef. 2:15).
Namun bukan berarti semua Hukum Taurat dibatalkan! Jika “Semua” dibatalkan, maka akan terjadi kekacauan dalam kehidupan umat Tuhan. Bayangkan, hukum Taurat (Sepuluh hukum Musa) yang melarang orang untuk tidak membunuh, mencuri, memperkosa, menghormati Tuhan dan orang tua, kini telah batal dan menjadi boleh hanya karena penafsiran ngawur dari ayat ini. Bagaimana mungkin Ia dapat “mengadakan damai sejahtera” jika semua hukum moral juga ikut dibatalkan? Penafsiran generalisasi demikian merupakan penafsiran yang keliru. Namun BP, penulis sarapanpagibibilika menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa hukum-hukum moral terebut sudah digantikan dengan dua “hukum kasih Kristus” (Mat.22:37-40), 

Demikianlah perbuatan-perbuatan dosa yang dalam Taurat hanya disorot secara Fisik, dalam Hukum Kristus disorot secara Moral-Spiritual. Dan Hukum Taurat yang termasuk 10 Firman di dalamnya  pun sudah digenapi oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Dengan 2 macam hukum saja, Kasih kepada Allah dan Kasih kepada manusia. Yesus Kristus telah menetapkan HUKUM BARU yaitu HUKUM KASIH, karena  KASIH telah memenuhi tuntutan hukum Taurat.”[14]

Memang benar bahwa hukum Kasih adalah kegenapan dari Hukum Taurat dan memenuhi setiap tuntutannya. Namun bukan berarti bahwa Tuhan Yesus membatalkan Hukum Moral Musa. Pernyataan demikian adalah pernyataan yang keliru. Kalimat “sudah digenapi”, dan dilanjutkan dengan  penegasan bahwa “Yesus Kristus telah menetapkan HUKUM BARU yaitu HUKUM KASIH” tidak mengindikasikan bahwa terdapat penggantian hukum-hukum moral, namun lebih bersifat rangkuman dan penyempurnaan, bukan penggantian. Jika saudara merangkum suatu buku kedalam dua lembar kertas, itu bukan berarti Saudara mengganti isi buku tersebut, namun merangkum/meringkasnya menjadi dua halaman.   

          Kita paham bahwa Kristus tidak membatalkan hukum-hukum Taurat (baca : Hukum Moral) Musa, namun menyempurnakan dan meringkas ke dalam dua hukum, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (ay. 40). Istilah “Menetapkan hukum baru” dengan “Menyempurnakan dan meringkas” adalah dua hal yang sangat berbeda! Di sini letak kekeliruan BP, penulis sarapanpagibiblika yang terlalu memaksakan asumsi mengenai pembatalan semua ketentuan hukum Taurat menurut Efesus 2:15 yang juga harus mencakup praktek PP.

          Sudah menjadi pemahaman umum bahwa perihal hukum Taurat terdiri dari tiga spesifikasi besar yang mengatur kehidupan umat Israel Perjanjian Lama berdasarkan konteks kehidupan mereka yaitu, “Hukum Seremonial”, “Hukum Sipil” dan “Hukum Moral”. Hukum Seremonial berbicara mengenai korban-korban persembahan, tata cara ibadah, pembasuhan, dan hari-hari raya. Hukum sipil mengatur kehidupan umat Israel dalam hubungan sosial dan politik mereka yang berlaku situasional (“situasional” karena dapat berubah sewaktu-waktu, misalnya ketika umat Israel berada dalam pembuangan dan penjajahan bangsa asing). Dan yang terakhir, Hukum moral merupakan serangkaian aturan moral dan etika yang berlaku secara mutlak kapan pun dan dimana pun.

          Sementara konteks ayat ini (Ef. 2:15) sedang berbicara mengenai “Hukum seremonial” yang memang merupakan rujukan sekaligus penggenapan nubuatan bagi penebusan Kristus melalui kematian-Nya. Hukum ini digenapi oleh Kristus, maka yang lama ditiadakan dan digantikan dengan yang baru di dalam Kristus. Tidak ada lagi korban-korban bakaran dan keselamatan karena telah digenapi oleh kematian Kristus sebagai simbol penebusan satu kali dan selama-lamanya. Sampai pada pemahaman ini, BP, penulis sarapanpagibiblika dan penulis memiliki pemahaman yang sama (hukum seremonial), namun ketika ia bertolak lebih jauh dengan mengaitkan PP dengan sistem sosial dan keimaman yang baku dalam tata ibadah PL, menjadi titik perbedaan penulis dengannya. BP menjelaskan, 
 “...persepuluhan merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan dipisahkan secara khusus untuk melayani Tuhan”.

Argumentasi demikian merujuk pada kesimpulan bahwa PP menyatu dengan praktek ibadah PL  yang tergolong dalam Hukum Taurat (Seremonial), maka praktek PP pun ikut dibatalkan/dihilangkan melalui karya salib Kristus sesuai dengan Efesus 2:15. 

          Tentu saja keliru. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa “PP dibatalkan”. Tidak ada dalil Alkitab dimana pun yang menyatakan bahwa PP ikut dibatalkan pasca penebusan Kristus! Bahkan ayat tersebut pun tidak. Kalimat “dengan segala perintah dan ketentuannya” hanya mengacu pada pembatalan sistem korban dan imamat seperti yang ditunjukan ayat-ayat silang yang berhubungan dengan penjabaran “pembatalan hukum seremonial” tersebut. Keseluruhan dari keterangannya mengacu pada “kematian Kristus yang menggantikan sistem korban bakaran dan keselamatan” (Yoh. 1:29; Ibr. 9:12, 28) dan bukan pada pembatalan PP. 

          Memang konsekuensi dari peniadaan Hukum Seremonial karena pengorbanan Kristus adalah ketiadaan sistem imamat pada pelayanan di Bait Allah sehingga tidak ada lagi sistem jabatan Imam dan Lewi. Dengan demikian menurut mereka, PP juga dibatalkan sebagaimana fungsinya untuk menyokong kalangan Imam dan Lewi. Hal ini yang seringkali digunakan sebagai dalil bahwa umat Perjanjian Baru adalah imamat yang rajani itu sendiri (1 Pet. 2:9), yang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara Imam di Bait Allah. Dari sini, mereka kemudian berasumsi, jika semua umat PB merupakan imam dengan demikian bukankah PP harus diberikan kepada semua umat yang adalah  imam juga? 

          Namun pernyataan ini sesungguhnya keliru secara historis, logis dan eksegesis. Secara historis, bagaimana mungkin Abraham, Ishak (jika mungkin ditambahkan), Yakub, yang tidak hidup dalam sistem Imamat di Bait Allah, namun dalam sistem keimamatan personal juga mempraktekkan PP? Jika PP hanya berhubungan dengan “Imam dan Lewi” serta “Bait Allah”, lantas bagaimana kalangan kontra menjawab hal ini? Secara logis, bagaimana mungkin kita yang menjadi “imam” bagi diri sendiri namun masih beribadah dengan berpusat di gereja yang justru dipimpin oleh seorang “imam lain”? Bukankah ini kontradiktif? Lantas jika kita adalah imam, mengapa kita masih memohon doa dari “imam lain juga” yang kita sebut sebagai “Gembala” kita? Secara eksegetikal, ayat tersebut (1 Ptr. 2:9) tidak sedang berbicara mengenai “persembahan” dan “sokongan dana bagi imam/lewi”, namun mengenai status baru orang percaya di dalam Kristus Sang Batu penuru, panggilan untuk hidup mempermuliakan Tuhan serta meneladani Kristus Sang Gembala agung (Baca secara utuh pasal 2). 

          Lebih jauh, secara historis kita dapat melihat suatu kebenaran yang tegas mengenai PP. PP merupakan komitmen serta ucapan syukur pribadi atas berkat Tuhan (Abraham—Kej. 14:20; Yakub—Kej. 28:22) yang tidak terikat oleh sistem peribadatan di Bait Allah maupun pajak ekonomi seperti pernyataan penulis sarapanpagibiblika. PP telah hadir dan dipraktekkan sebelum hukum-hukum Taurat Musa diturunkan dan dipraktekkan. Itu sebabnya PP terpisah dari Hukum Seremonial yang berpusat di Bait Allah dan umat Israel. Dengan kata lain, PP dapat dipraktekkan terpisah maupun menyatu dengan Taurat. Memang pada perkembangannya Allah kemudian menetapkan konsepsi ini sebagai suatu hukum formal bagi Umat Israel, namun bukankah secara historis, PP terpisah dan dapat dipraktekkan tanpa sangkut pautnya dengan Bait Allah dan Umat Israel? Bukankah Abram (nama Abraham yang bahkan jauh sebelum ia bertobat) sudah mempraktekkan PP? Bukankah Yakub juga melakukannya? Dan bukankah mereka melakukannya secara pribadi dan tidak berpusat pada Bait Allah? perlu penulis tegaskan bahwa, PP berbicara mengenai “apa yang menjadi milik Allah” bukan berbicara mengenai “sistem peribadatan” apalagi “sistem ekonomi sosial”.

          Jika Yakub, sang cucu Abraham melakukannya, maka hal itu berarti terdapat suatu pengajaran dan tradisi lisan yang diwariskan oleh Abraham kepada keturunannya, dan semua hal ini dilakukan jauh sebelum hukum Taurat ada. Mereka melakukan semua ini berdasarkan pada “mata iman yang tertuju kepada anugerah dan berkat Allah” dan bukan pada keterpaksaan atau hukum Taurat yang mengikat. Bukankah dasar teologis serupa juga yang menjadi esensi dari gereja-gereja (yang pro) mempraktekkan PP? Lantas dimana salahnya? Bukankah dasar argumentasi ini juga yang dikemukakan oleh penulis sarapanpagibiblika ketika ia mengomentari praktek PP Abraham yang katanya memberikan berdasarkan “free-giver (tidak berdasarkan hukum yang mengikat)?[15]

          Kedua, jika hal ini berkaitan dengan sistem perpajakan “untuk mendukung orang miskin” dan “Imam serta Lewi” seperti argumentasi yang dikemukakan penulis sarapanpagibiblika, lantas mengapa “orang asing pun” ikut menerima bagian dan menikmati persembahan PP (Ul. 14:29)? Hal ini tentu merupakan suatu keganjilan. Atau lebih jauh, bagaimana kita akan menjawab mengenai praktek PP yang dilakukan di jaman Bapa-bapa Patriak Israel (Abraham, Ishak dan Yakub), untuk kesejahteraan siapa PP yang mereka berikan tersebut? Bukankah di zaman mereka Umat Israel belum ada, lantas untuk “pajak kesejahteraan sosial siapa”? Lebih spesifik lagi, jika PP berhubungan dengan perpajakan dan kesejahteraan masyarakat miskin, lantas mengapa Abraham memberikan PPnya kepada “Melkisedek, Raja Salem” (Kej. 14:18)? Bagaimana mungkin seorang “Raja Salem” masih membutuhkan santunan dana “hibah penunjang ekomoni” dari Abraham untuk kesejahteraannya, padahal ia adalah seorang Raja yang tentu memiliki kekayaan yang cukup bahkan mungkin melimpah?

          Atau jika disorot dalam dalil lain, BP (sarapanpagibiblika) menulis bahwa, “Abraham memberikan persepuluhan kepada imam Melkisedek (Kejadian 14:18-19), ini dikarenakan para imam dikhususkan untuk pelayanan agama”.[16] Sederhananya, ia mau mengatakan bahwa  Melkisedek menerima PP dari Abram itu oleh karena ia pun seorang imam Allah yang artinya PP dalam zaman Abraham dan Umat Israel itu sama saja. Namun jika dasar ini digunakan sebagai dalil teologis yang logis, maka kalangan pro PP akan lebih leluasa memiliki dasar argumen yang lebih kuat untuk mempraktekkan PP. Mengapa? Karena pertama, PP pada zaman Melkisedek tidak terikat pada sistem Bait Allah sebagaimana Melkisedek tidak bertugas dan terikat di Bait Allah, maka hal tersebut dapat juga dipraktekkan pada gereja Tuhan yang berbeda dan tidak berpusat dan terikat di Bait Allah. Dan kedua, karena Melkisedek bukanlah keturunan Lewi yang secara khusus diberi jabatan Imamat, maka seperti Melkisedek, para hamba Tuhan yang non-Lewi yang juga bertugas menyelenggarakan pelayanan ibadah gerejawi pun dapat mempraktekkan dan menerima PP.  

          Dalam argumentasi lain yang penulis lampirkan dari sumber berbeda, terdapat pula argumentasi yang mirip. Argumentasi ini dikemukakan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban sebagai berikut,

Pertanyaan: Ketika Abraham memberikan sepuluh persen hasil jararahan kepada Melkisedek, hukum taurat belum berlaku. Apakah kita juga harus memberi persepuluhan seperti Abraham ? Jawaban: Abraham memberikan persepuluhan bukan karena perintah Tuhan, seperti orang Israel diperintahkan Tuhan. Abraham memberikan dengan sukarela. Bahkan, Alkitab mencatat Abraham hanya satu kali saja memberikan persepuluhan selama hidupnya.  Kalau kita meniru Abraham, berarti cukup satu kali saja seumur hidup memberi persepuluhan.[17]

Ini tentu sebuah jawaban yang keliru. Abraham memang memberikan berdasarkan sukarela dan bukan karena tuntutan hukum, namun itu bukan berarti bahwa Abraham hanya memberikan sekali saja oleh karena Alkitab tidak mencatatnya. Banyak hal yang memang tidak dicatat Alkitab, namun hal itu merupakan suatu TRADISI LISAN YANG DITURUNKAN, seperti misalnya pengajaran firman Tuhan oleh adam kepada Hawa. Bukankah Alkitab tidak menuliskan bahwa Adam tidak pernah mengajarkan firman Tuhan kepada Hawa? Lantas darimana kita tahu bahwa Hawa mengetahui firman Tuhan yang semula diungkapkan Allah kepada Adam? Atau bagaimana Abraham tahu bahwa ia harus mempersembahkan sepersepuluh kepada Melkisedek? Darimana ia tahu bahwa jumlahnya harus “sepersepuh” dan harus diberikan kepada “Imam”? tentu hal ini sudah menjadi suatu tradisi lisan yang diwariskan, sebagaimana yang juga dipraktekkan oleh Yakub. 

          Kemudian coba kita perhatikan bagaimana Yakub memberikan persepuluhannya,
 Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah.  Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu  kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu." (Kej. 28:22).
Dua kalimat yang saya tegaskan dalam ayat ini memberikan penegasan yang lebih real lagi tentang tradisi pemberian PP pada zaman para Patriak Israel yang sudah menjadi suatu tradisi. Kalimat, “dari segala sesuatu yang Engkau berikan” memberikan penegasan bahwa Yakub akan selalu memberikan persepuluhan dari setiap berkat Tuhan yang ia terima! Jadi argumentasi demikian tidak cukup kuat untuk menolak konsepsi PP.

          Sekali lagi, PP secara historis pada awalnya bukan berkaitan dengan sistem perpajakan dan kesejahteraan siapapun, namun berkaitan dengan kesadaran iman dan komitmen mengembalikan apa yang menjadi berkat Tuhan bagi umat-Nya. Baru setelah pada zaman Musa, karena  perkembangan teologis, sosial, dan  geografis, Tuhan kemudian menggunakan konsep ini sebagai pendukung ekonomi sosial bagi para Iman, Lewi dan kaum Marginal. Argumentasi pertama ini bagi saya hanya merupakan asumsi semata. Tidak ada bukti Alkitab secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan bahwa “Karya salib Kristus membatalkan PP”, yang ada hanya asumsi yang dipaksakan.

          Argumen Kedua, tidak ada dasar dalam Perjanjian Baru yang menerankan secara eksplisit maupun implisit mengenai PP. BP berargumentasi bahwa,

  Dengan alasan ini (penebusan Kristus) kita tidak pernah melihat orang- orang Kristen memberikan perpuluhan di dalam Perjanjian Baru. ...Persepuluhan, sekalipun alkitabiah, bukan Kekristenan. YESUS KRISTUS tidak menyatakan hal itu ... Persepuluhan hanya disebutkan 4 kali dalam Perjanjian Baru tetapi tidak satu pun dari konteks itu diaplikasikan kepada Kekristenan. Sekali lagi, persepuluhan merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan   dipisahkan secara khusus untuk melayani Tuhan. 

          Argumentasi demikian merupakan argumentasi yang sesat pikir. Bagaimana mungkin kita mengharapkan Tuhan Yesus mengajarkan dan menganjurkan PP kepada Umat PB, sementara pada zaman itu Jemaat Perjanjian Baru belum ada, seluruh pengikut-Nya pun penganut Yudaisme taat yang patuh PP, dan tentu saja peribadatan Tuhan Yesus dan para Rasul masih terpusat di Bait Allah yang juga mempraktekan PP. Itu sebabnya, kritikan yang diberikan Tuhan Yesus kepada ahli Taurat dan Farisi itu tidak lagi mengenai “ketidak-taatan praktek PP”, tetapi penyimpangan perilaku (Mat. 23:23). Jadi bagaimana mungkin Tuhan Yesus harus mengajarkan PP ditengah umat yang sudah patuh PP dalam konteks zaman itu?, masakan kita memaksakan kehendak untuk sekedar mencari dasar biblikal bagi Gereja agar dapat mempraktekkan PP padahal konteks historisnya tidak memungkinkan? Justru akan terlihat tidak nyambung dan bodoh jika Tuhan Yesus harus mengajarkan praktek PP di tengah umat yang sudah melek PP. Ini merupakan suatu pemaksaan asumsi yang menyesatkan.

          Namun jika argumentasi ini harus diterima, maka dengan dalil yang sama kita pun dapat mengajukan argumen bahwa Tuhan Yesus juga tidak pernah menyinggung atau melarang bahwa “Gereja-Nya tidak boleh mempraktekkan PP”. Bukankah sepangjang pengajaran-Nya, Ia juga tidak pernah melarang pengikut-Nya untuk memberikan PP? Tidak ada dalil di dalam Perjanjian Baru yang melarang praktek PP sebagaimana asumsi kalangan kontra bahwa “tidak ada dasar PB untuk mempraktekkan PP”.

          Argumen ketiga, sepanjang sejarah gereja khususnya gereja purba, tidak pernah dijumpai kesaksian atau bukti historis tentang praktek persepuluhan. BP berargumentasi, 

 Kekristenan abad pertama tidak melakukan hal tersebut dan selama 300 tahun umat Allah tidak mempraktekkannya. Persepuluhan tidak menjadi praktek yang diterima meluas di kalangan Kekristenan sampai abad ke- delapan.
          Memang benar, bahwa praktek PP dalam sejarah gereja purba tidak dijumpai selain dari usulan yang sempat diajukan (atau mungkin juga dipraktekkan? Kita tidak memiliki data sumber yang valid) oleh Cyprian (200-258 M) pada paruh abat ke-3M. Ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, sebagian besar gereja hingga abat ke 8 tidak mempraktekkan PP seperti usulan Cyprian bisa saja terjadi oleh karena kepemimpinan gereja menyatu dengan pemerintahan negara, itu artinya kesejahteraan gereja dan kaum clergy (Pendeta) sudah dijamin dan terpenuhi oleh negara, sebagaimana Vatikan hari ini. Lantas jika semua telah terpenuhi, maka akan sangat dimungkinkan bahwa PP memang sengaja ditiadakan untuk mendukung kaum Clergy karena telah terpenuhi oleh pemerintah negara (Baik kekaisaran Timur maupun Barat).

          Pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan adalah bukan karena suatu konsep/ide teologis tidak dipraktekkan dalam jangka waktu tertentu lantas hal ini dapat dijadikan dasar penolakan terhadap konsep tersebut. Bukankah secara historis konsep “Sola Gratia” Luther (melanjutkan pengajaran Agustinus pada abat ke-4 yang redup) baru muncul kembali pada abat ke-16 dan diterima secara terbuka oleh gereja-gereja Reformasi? Lantas apakah kita akan menolak konsep ini juga? Tentu saja tidak. 

          Lebih absurd lagi, argumentasi historis ini akan menjadi suatu argumen yang non sense karena secara historis kekirstenan abat pertama justru memberikan persembahan mereka kepada para Rasul (KPR 5:2; Fil. 4:18), lantas mengapa kekristenan modern memberikan persembahannya di gereja? Bukankah jemaat mula-mula juga tidak pernah mengenal konsep gereja yang terkonsentrasi di suatu gedung bangunan dan berorganisasi seperti saat ini? Di sini kita melihat ketidak sesuaian historis dan data Alkitab, serta ketidak-konsistennya argumentasi ini. Singkatnya jika ingin konsisten sesuai dengan data Alkitab dan sejarah gereja purba, maka seharusnya para pengkritik PP juga tidak usah memberikan persembahannya ke Gereja, karena jemaat Kristen perdana tidak pernah memberi mengenal kosep persembahan yang terkonsentrasi di suatu tempat (Gereja seperti saat ini), layaknya Bait Allah tetapi langsung kepada para Rasul.

          Terakhir, ditinjau dari sisi sejarah gereja, perlu diperhatikan bahwa Gereja pada zaman pasca pertobatan Kaisar Konstantin berpusat serta menyatu dengan pemerintahan Negara dan berlangsung secara berkesinambungan hingga zaman Reformasi Protestan. Disini sejarah membuka mata kita tentang fakta-fakta mengenai dukungan dana yang secara langsung digelontorkan oleh kas Negara kepada pelayanan gerejawi termasuk dalam hal menjamin kehidupan para Pastor.  Pasca reformasi Protestan pun hal ini masih berbekas pada sebagian Gereja-gereja Reformasi, tengoklah para penginjil yang dikirim dari Belanda dan Portugis pada abat ke 17-18, bukankah mereka didukung penuh oleh pembiayaan kas Negara? Itu sebabnya, kehidupan dan pelayanan para hamba Tuhan tidak lagi perlu ditopang oleh “dana hibah” jemaat. 

          Argumen Keempat (tambahan). Dalam beberapa kritik yang dilancarkan oleh kalangan kontra PP, satu argumentasi yang juga dikemukakan adalah,

        “PP tidak pernah diberikan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk hasil bumi dan ternak. Tidak ada dasar Alkitab yang mendukung pemberina PP dalam bentuk uang”.[18]

Sepintas argumentasi demikian terlihat kuat dan meyakinkan, namun jika ditelusuri lebih dalam, argumen demikian sesungguhnya argumen yang absurd karena beberapa alasan mendasar. Pertama, pada zaman Musa hingga pasca pembuangan, masyarakat pada zaman tersebut belum mengenal uang sebagai alat transaksi dan upah kerja yang sah. Istilah “uang” memang dipergunakan beberapa kali namun tidak pernah merujuk pada nilai/nominal “mata uang” dalam pengertian modern. “Uang” dalam zaman itu hanya berupa potongan logam yang ditimbang sesuai dengan kesepakatan bersama sebagaimana komentar Kamus Alkitab berikut, “Pada waktu Yusuf mengumpulkan uang orang Mesir sebagai pembayaran gandum (Kej. 47:14-17), uang itu lebih berupa potongan-potongan logam daripada mata uang.”[19]
 
          Kedua, masyarakat Timur dekat kuno pada zaman Perjanjian Lama semuanya memiliki profesi pekerjaan yang serupa, yaitu petani dan peternak. Hasil (atau berkat) yang mereka terima pun sudah pasti berbentuk pangan dan ternak, bukan berupa upah dalam bentuk uang seperi zaman modern ini, maka memaksakan kehendak untuk menafsirkan bahwa “tidak ada PP yang diberikan dalam bentuk uang”, adalah sebuah argumentasi yang sangat tidak masuk akal serta out of context. Bagaimana mungkin orang pada zaman itu belum mengenal “mata uang” sebagai alat transaksi sah serta upah kerja, kemudian dijadikan dasar penafsiran sebagai alasan bahwa tidak ada dalil mengenai PP yang berupa uang? Ini merupakan suatu kesesatan.

          Ketiga, jika ingin dipaksakan bahwa haruslah ada dasar bahwa PP juga dapat berupa “uang” meskipun uang dalam [pengertian sederhana pada saat itu. Dengan demikian, dapat dijadikan rujukan (minimal petunjuk praktis) sebagai panduan pemberian PP pada zaman modern. Untuk menjawab hal ini, sebenarnya kita juga memiliki dasar ayat yang menyatakan secara eksplisit, perhatikan Ulangan 14:22-25 berikut,

        Haruslah engkau benar-benar mempersembahkan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi tahun. ... Apabila, dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu, jalan itu terlalu jauh bagimu, sehingga engkau tidak dapat mengangkutnya, karena tempat yang akan dipilih TUHAN untuk menegakkan nama-Nya di sana terlalu jauh dari tempatmu,  maka haruslah engkau menguangkannya dan membawa uang itu dalam bungkusan dan pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu.

Sekali lagi, meskipun “uang” dalam konteks ayat ini tidak merujuk kepada “mata uang” dalam pengertian modern, namun kita tentu memiliki petunjuk praktis yang dinyatakan Alkitab untuk tetap dapat menggunakan “uang” sebagai cara praktis dalam mengembalikan PP. Dengan demikian, argumen absurd tersebut gugur. 

Kritik Bagi Dasar Argumentasi PP dan Persembahan Gerejawi.

          Disisi lain, kalangan yang kontra PP menggunakan beberapa ayat yang diajukan sebagai dalil utama argumen mereka dalam konsep yang tepat bagi persembahan gerejawi. Berikut argumen yang dikemukakan BP,

        Persembahan yang benar digambarkan oleh rasul Paulus sebagai berikut: "Karena itu saudara-saudara, dengan kemurahan Allah aku menasehatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:1-2). Jadi, persembahan Kristen yang benar adalah kesadaran bahwa seluruh tubuh dan harta kita adalah milik Tuhan, maka kita harus menjadikannya sebagai alat menyatakan buah-buah kasih kepada gereja, persekutuan, pelayanan kristen, dan menolong sesama kita yang berkekurangan, itulah persembahan kita kepada Tuhan.[20]
Tetapi argumentasi ini memiliki kekeliruan dalam penafsiran. Pertama, Persepuluhan bukanlah jenis “persembahan”, tetapi milik Tuhan yang perlu dikembalikan seperti penegasan Pak Tong yang didasari atas dalil Imamat 27:30. Kedua, penafsiran BP adalah penafsiran yang out of teks. Ayat tersebut tidak sedang berbicara mengenai persembahan gerejawi dalam arti harfiah pada liturgi ibadah gereja, namun sedang membahas mengenai anugerah Allah yang perlu direspons dengan ucapan syukur dan pelayanan yang sepenuh hati untuk Tuhan (Baca Roma 11 dan 12 secara keseluruhan). Jika ingin dipaksakan penafsiran dari ayat ini pun maka seharusnya kita (geraja) tidak perlu mempersembahkan persembahan dalam bentuk uang atau apapun, selain daripada “mempersembahkan tubuh!”. 

          Selebihnya, penulis justru ingin tahu seberapa besar persembahan yang diberikan itu untuk dapat dikategorikan sebagai “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”. Bukankah betapa kurang ajarnya jika Saudara hanya memberikan “sisa recehan yang seharga ongkos parkir itu” dan Saudara katakan itu persembahan yang kudus dan berkenan kepada Tuhan? Jika PP saja ditolak maka penulis sangsi, kalangan kontra PP dapat melakukan apa yang BP, penulis sarapanpagibiblika argumentasikan di atas, “Jadi, persembahan Kristen yang benar adalah kesadaran bahwa seluruh tubuh dan harta kita adalah milik Tuhan.”

          Ayat kedua yang sering digunakan sebagai dasar argumentasi praktek persembahan gereja adalah, 

 Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi   orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7).
          Sekali lagi konteks ayat ini mengkonfirmasi kekeliruan penafsiran jika ayat tersebut dipaksakan sebagai satu-satunya dalil yang valid bagi konsepsi persembahan gerejawi. Konteks ayat ini tidak sedang berbicara mengenai “persembahan” dalam artian ibadah formal, namun merupakan pemberian dukungan bagi sesama saudara seiman. Persembahan ini lebih bersifat diakonial antar Jemaat Yerusalem, Makedonia, dan Korintus yang secara langsung diprakarsai oleh Rasul Paulus. Maka tidaklah tepat secara konteks jika ingin dipertahankan sebagai konseop persembahan gerejawi, selain hanya dapat diaplikasikan sifat dan nilai praktisnya. 

          Dari sudut nilai dan sifat praktisnya, memang benar bahwa pemberian harus dengan kerelaan dan sukacita, lantas salahnya di mana jika kalangan pro yang mempraktekkan PP juga memberikan dengan kerelaan dan sukacita? Namun hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa argumen demikina merupakan dalil terselubung untuk “menolak memberikan persembahan dalam jumlah besar” dan bukan berdasarkan sikap rela atau sukacita. Tentu saja, secara naluriah semakin besar pemberian persembahan seseorang maka “semakin hilang pula sukacita dan kerelaan”. Lihatlah contoh kasus Ananias dan Safira, uang persembahan yang begitu besar pada akhirnya menjebak mereka dalam penipuan yang mematikan. Itu sebabnya, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mempraktekkan ayat ini dengan sungguh-sungguh dalam praktek persembahan yang bernilai besar dengan hati yang tulus, rela, dan sukacita, bahkan mereka yang mempraktekkan PP sekalipun belum tentu mampu memberi dengan sikap hati seperti ayat ini. 

          Kedua ayat ini menjadi dasar praktek persembahan gereja modern. Namun perlu penulis sampaikan bahwa menggunakan kedua ayat ini menjadi dasar persembahan dalam gereja modern pun adalah sebuah kekeliruan. Karena konteks persembahan pada zaman pelayanan Rasul-rasul adalah persembahan diakonial bagi penginjilan dan pelayanan Rasuli. Tidak pernah ada persembahan yang diberikan ke gereja seperti saat ini. Maka jelas, jika kalangan kontra PP ingin konsisten dalam mempraktekkan persembahan, maka gereja sebagai sentral pusat peribadatan kristiani modern saat ini justru akan menjadi tidak cocok dan tidak tepat sesuai dengan ayat-ayat tersebut. 

          Disini kita melihat bahwa kalangan kontra PP ternyata menggunakan ayat-ayat tersebut secara out of context untuk sekedar mencari dan mengadopsi suatu “pola” dan “konsep” dasar dalam penerapannya bagi persembahan gerejawi. Sesungguhnya pendekatan demikian juga yang digunakan oleh kalangan pro PP ketika mereka mengadopsi “pola” dan “konsep” PP untuk diterapkan pada konsep ibadah gerejawi. Jika pola dan pendekatan yang digunakan sama, lantas mengapa kalangan pro PP selalu dikambing hitamkan? 

          Secara implisit kita justru mendapati sisi buruk dari sentimen-sentimen pribadi yang lebih menonjol, daripada kejernihan penafsiran dan argumentasi yang alkitabiah. Tentu tidak keliru jika kita menggunakan konsep atau pola-pola Alkitab dalam pendekatan bagi praktek persembahan gerejawi. Baik persembahan diakonial maupun PP merupakan dua pola yang sama-sama diadopsi dari kesaksian Alkitab. Maka tidak ada salahnya kedua konsep tersebut digunakan dan dipraktekkan selama pengelolaannya dapat dipertanggungjawabkan dengan benar.

Catatan dan Penutup.

          Meskipun penulis setuju dalam hal konsep dan praktek PP, namun bukan berarti penulis menutup mata untuk mengkritik sebagian besar pengelolaan dana PP yang tidak bertanggungjawab oleh oknum-oknum kalangan gereja yang pro. Kecenderungan menyesatkan untuk memonopoli keuangan gereja, khusnya bagi gereja-gereja modern yang otonom, telah mendatangkan dampak buruk dan stigma negatif yang digeneralisasi bagi hampir semua gereja yang berbasis otonom dan pro PP. 

          Untuk itu kesadaran akan makna penting bahwa PP adalah milik Tuhan, dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan dan Jemaat, seharusnya mendorong kalangan pro PP untuk mengelolanya secara bertanggungjawab (terbuka dan transparan) bagi kelangsungan pelayanan serta pekerjaan Tuhan di gereja lokal. 

          Meskipun tulisan ini dinarasikan secara apolgetik, namun sekali lagi tulisan ini tidak ditujukan sebagai sebuah pembenaran yang membabi-buta, apalagi mencari keuntungan pribadi. Sungguh sangat tidak terpuji dan sebuah pelanggaran etika berat jika kita menggunakan dalil-dalil Kitab Suci hanya demi  memperoleh keuntungan pribadi. Kemudian, terlepas dari gereja dan denominasi apa Saudara bernaung, argumen-argumen yang penulis sajikan pun tidak dimaksudkan untuk memaksa agar Saudara yang kontra PP (memiliki pemahaman teologis yang berbeda) ikut mempraktekkan PP. Tulisan singkat ini hanya merupakan kajian teologis dari keyakinan dasar penulis untuk mencoba memberikan pondasi teologis dan apologetis bagi Saudara-saudara yang pro PP. Kiranya Tuhan memimpin dan menjernihkan hati kita dari motif-motif, asumsi-asumsi, serta tuduhan-tuduhan terselubung yang menyesatkan. Tuhan Memberkati, Salam.     





















[1] Sumber-sumber yang penulis gunakan hanya sebagain kecil saja dari beragam sumber lain, dan dengan tanpa mengurangi rasa hormat bagi mereka. Sumber-sumber tersebut merupakan para Tokoh Kristiani yang telah dikenal luas, dan memiliki pemahaman dan pengajaran yang cukup baik sehingga dapat dijadikan rujukan.
[2] Lihat pembahasannya di sini: http://www.sarapanpagi.org/persepuluhan-vt315.html. Penulis web ini menjabarkan pandangannya dengan sangat baik, sehingga dapat merangkum dan mewakili kalangan yang kontra PP.
[6] Lihat di sini: http://www.sabda.org/pesta/node/627.
[7] Dua situs ini saya gunakan sebagai bahan presentasi karena merupakan dua sumber yang paling sering digunakan sebagai rujukan pengajaran Kristiani terutama berkaitan dengan isu-isu kontemporer.
[9]https://www.youtube.com/watch?v=14QQeiHTZ7w, khusunya pada menit ke 54:20.
[10] http://www.sabda.org/pesta/node/627
[11]https://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.html.
[13] Sarapanpagibiblika.org.
[14] http://www.sarapanpagi.org/persatuan-antara-org-yahudi-non-yahudi-dlm-jemaat-kristus-vt3138.html#p17547
[15] http://www.sarapanpagi.org/persepuluhan-vt315.html.
[16] Ibid.
[17] https://saulsiagian.com/2016/08/19/tanya-jawab-serputar-persepuluhan/
[18] Komentar yang penulis kutib dari salah satu member di grup facebook SPK.
[19] Kamus Alkitab Sabda.
[20] http://www.sarapanpagi.org/persepuluhan-vt315.html