PERSEPULUHAN,
POLEMIK YANG TAK KUNJUNG USAI
[Mengurai Kekusutan Argumentasi Kalangan Kontra Persepuluhan]
[Mengurai Kekusutan Argumentasi Kalangan Kontra Persepuluhan]
Oleh : Yosep Belay
Pendahuluan.
Beberapa hari lalu, penulis berdiskusi
dengan beberapa sahabat di salah satu grup facebook mengenai “Persembahan persepuluhan”
(baca: “PP”). Pertanyaan seputar dasar biblikal, konteks historis, konsep
ibadah, masih relevankah, hingga isu-isu etik yang berkembang, tak pelak lagi
muncul sebagai dalil-dalil yang memanaskan suasan diskusi. Tema pembahasan ini
pun sering kali membingungkan umat Tuhan karena lain dominasi, lain pula
pemahaman dan praktek PP. Kalangan gereja-gereja Mainstream (Katolik dan
Protestan) tidak mempratekkan PP, sementara si “adik bungsu” (Pentakosta dan
Kharismatik, juga sebagian kalangan Reformed) mempertahankan konsep PP dalam
praktik ibadah. Lantas bagaimanakah kita sebagai Umat Tuhan menyikapi hal ini?
Pandangan dari Kedua Pihak Pro dan Kontra.
Menelusuri sumber-sumber[1]
yang dapat dijadikan rujukan pembahasan mengenai tema ini pun pada
akhirnya akan bermuara kepada tiga pemahaman yang berbeda, ditambah satu kelompok lainnya yang mempraktekkan PP
namun tidak ingin direpotkan untuk menggumuli dasar biblikalnya. Kalangan
pertama yaitu, mereka yang kontra
terhadap PP, dapat diwakili
oleh penulis situs saparanpagibilbika.org[2]
yang mencoba untuk mengkaji
dari berbagai sumber.
Kalangan yang pro PP diwakili oleh Pdt. Stephen Tong[3],
Pdt. Erastus Sabdono[4], Pdt.
Beny Solihin[5],
dan yang ketiga adalah kalangan “Diplomatis” yang diwakili oleh situs gotquestions.org, sabda.org[6] dan
tanyaalkitab.com[7],
serta satu kelompok terakhir, yaitu “kalangan cuek
ajaran”. Kalangan yang terakhir ini jarang menyuarakan konsepsi teologis mereka
mengenai PP secara jelas entah karena kurang paham, bingung, atau mungkin juga
sengaja menghindar. Kalangan demikian rentan untuk menyesatkan dan disesatkan
karena tidak memiliki pondasai Alkitab yang memadai serta hanya ikut-ikutan
saja. Berikut, penulis mencoba untuk mengkaji secara singkat dasar-dasar argumentasi
yang dikemukakan oleh masing-masing pihak (kecuali “kalangan cuek ajaran”) sebagai pedoman praktik PP dalam
ibadah gerejawi.
Kalanga kontra PP, dengan inisial Saudara/i “BP” dalam kajiannya
memberikan tinjauan teologis, historis, gramatikal, serta beberapa isu kontemporer
mengenai bobroknya menejemen gereja dalam praktik PP. Suatu kajian yang menurut
penulis cukup lengkap dan sistematis. Dalam kajiannya tersebut, ia mengemukakan argumentasinya sebagai
berikut,
“Persepuluhan
adalah milik bangsa Israel kuno. Ini secara esensial merupakan pajak pendapatan
mereka. Anda tidak pernah menemukan persepuluhan oleh Kekristenan abad I dalam
Perjanjian Baru. Bersama kematian
YESUS, semua upacara dan simbol-simbol agama yang dimiliki orang Yahudi telah
dipakukan pada salib-Nya dan dikuburkan! tidak pernah muncul lagi untuk
menghukum kita. Dengan alasan ini kita tidak pernah melihat orang-orang Kristen
memberikan perpuluhan di dalam Perjanjian Baru. … Persepuluhan, sekalipun
alkitabiah, bukan Kekristenan. YESUS KRISTUS tidak menyatakan hal itu.
Kekristenan abad pertama tidak melakukan hal tersebut dan selama 300 tahun umat
Allah tidak mempraktekkannya. Persepuluhan tidak menjadi praktek yang diterima
meluas di kalangan Kekristenan sampai abad ke-delapan. Pemberian di dalam Perjanjian Baru adalah sesuai kemampuan seseorang.
Orang- orang Kristen memberikan pertolongan kepada orang-orang percaya yang
lain dan juga mendukung pekerja-pekerja apostolik, mendanai perjalanan dan
perintisan jemaat. … Persepuluhan
hanya disebutkan 4 kali dalam Perjanjian Baru tetapi tidak satu pun dari
konteks itu diaplikasikan kepada Kekristenan. Sekali lagi, persepuluhan
merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk
mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan dipisahkan
secara khusus untuk melayani Tuhan. Bersama dengan kedatangan YESUS KRISTUS ada sebuah “perubahan hukum”–yang tua
“dibatalkan” dan menjadi usang oleh karena yang baru. Kita semua sekarang
adalah imam, bebas berfungsi di dalam rumah Allah. Hukum Taurat, keimamatan
yang lama, dan persepuluhan semuanya telah
disalibkan. Tidak ada lagi sekarang tirai bait Allah, pajak rumah Allah
atau pun keimamatan khusus yang berdiri di antara Allah dan manusia.”[8]
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kalangan
kontra PP mendasari argumentasinya dengan tiga dasar argumentasi. Pertama, bahwa praktik PP (Perpuluhan)
tidak lagi relevan dalam konsep persembahan dalam tata ibadah gereja Perjanjian Baru karena
merupakan konsep persembahan ibadah Perjanjian Lama yang masih terikat dengan sistem
keimaman, Taurat, dan berpusat pada Bait Allah. Kedua, tidak ada dasar Alkitab dalam Perjanjian Baru
yang menerankan secara eksplisit maupun implisit mengenai PP. Dan ketiga,
sepanjang sejarah gereja, tidak dijumpai praktek PP.
Sementara pihak yang pro PP, memiliki dalil yang
berbeda pula. Pak
Tong dan Pak
Erastus menandaskan
dasar argumentasi mereka pada Imamat 27:30, “Demikian
juga segala persembahan persepuluhan
dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan,
adalah milik TUHAN; itulah
persembahan kudus bagi TUHAN.”
Yang
intinya persembahan “Persepuluhan adalah milik Tuhan”. Apa yang menjadi milik
Tuhan, harus dikembalikan kepada Tuhan. Lebih jauh, Pdt. Stephen Tong menegaskan suatu perbedaan mendasar antara
“Persembahan” dan “Persepuluhan”. Menunut beliau, “Persembahan” adalah suatu
pemberian sukarela yang diberikan umat kepada Tuhan. Pemberian sukarela itu
pantas disebut sebagai “Persembahan”. Namun Persepuluhan berbeda. Persepuluhan
tidak dapat dikategorikan sebagai “Persembahan” karena itu adalah milik Tuhan.
Maka ketika memberikan Persepuluhan, kita bukan memberikan “persembahan” kepada
Tuhan tetapi “mengembalikan” apa yang menjadi milik-Nya.
Tidak hanya sampai disitu, kedua Tokoh
tersebut juga menyoroti secara tajam mengenai motivasi dan etika sebagai seorang
hamba Tuhan, serta menejemen gerejawi yang bobrok dalam pengelolahan PP. Baik
seorang hamba Tuhan, maupun jemaat harus memeriksa hatinya dalam memberikan dan
mengelola PP. Ini yang menjadi dasar argumentasi dan kritik dari kedua hamba
Tuhan tersebut. Singkatnya, argumentasi
kedua hamba Tuhan ini bermuara pada pernyataan Tuhan Yesus,
“…kata Yesus kepada mereka:
"Berikanlah kepada Kaisar
apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat. 22:21), dengan catatan kritis bahwa PP
harus dikelola secara bertangung-jawab dihadapan Tuhan dan Jemaat.
Sementara Pdt. Beny Solihin mendasari
argumentasinya dengan pemahaman teologis yang dihubungkan dengan karya salib Kristus.
Beliau mengatakan bahwa,
“Apakah
persembahan persepuluhan itu wajib atau tidak? Tidak wajib. Karena sesuatu yang “Wajib” mengandung
konsekwensi dosa jika tidak
dilakukan. Apakah perpuluhan itu harus atau
tidak? Harus. Harus karena kita adalah orang-orang yang ditebus oleh darah
Kristus”.[9]
Penebusan
Kristus bagi Orang
percaya tak dapat dibayar oleh apapun, maka seharusnya bukan hanya
persepuluhan, namun seluruh hidup kita perlu dipersembahkan kepada Tuhan. Di
sini Pdt. Beny memiliki pemahaman yang serupa namun tidak sama dengan Pdt. Erastus,
mereka sama-sama menekankan bahwa bukan hanya “sepersepuluh” sebagai milik
Tuhan, tetapi sesungguhnya keseluruhan berkat dan kehidupan kita adalah milik
Tuhan. Perpuluhan hanyalah representasi dari kesadaran akan hal tersebut (anugerah penebusan Kristus
kepada kita) maka keseluruhan
eksistensi kehidupan umat Tuhan, haruslah
dipersembahkan kepada-Nya.
Dasar argumentasi ini juga dikemukan oleh Indriatmo salah
satu penulis sabda.org,
“Tetapi
rupanya Roma 12:1 banyak digunakan sebagai 'perisai' oleh orang Kristen untuk
menghindar memberikan persembahan persepuluhan. Menurut mereka, mempersembahkan
seluruh hidup itu jauh lebih besar nominalnya daripada persembahan
persepuluhan. Itu kelihatannya masuk akal, tetapi kenyataannya yang sebenarnya
adalah: bagaimana orang bisa mempersembahkan seluruh tubuhnya, jika untuk
memberikan persembahan persepuluhan saja susah sekali.”[10]
Argumentasi ini memiliki titik tolak yang serupa dengan kalangan pro PP,
hanya saja lebih bersifat pembelaan yang rasional dan menantang.
Kelompok terakhir—“Diplomatis”—tidak memberikan
dasar biblikal
yang tegas, namun hanya berupa beberapa penafsiran “apa adanya” untuk mengatasi
polemik di kalagan umat Tuhan. Dalam kajiannya, gotquestions.org memberikan kesimpulan pejelasannya sebagai
berikut,
“Meski
demikian, orang Kristen tidak perlu merasa diwajibkan memberi persepuluhan.
Orang Kristen sepatutnya memberi sesuai dengan apa yang mereka mampu, “sesuai
dengan apa yang kamu peroleh.” Kadang-kadang, ini berarti memberi lebih dari
persepuluhan, kadang-kadang, ia kurang dari persepuluhan. Setiap orang Kristen
perlu berdoa dengan sungguh-sungguh dan meminta hikmat dari Allah mengenai
persembahannya, persepuluhan, dan berapa banyak yang harus dia berikan (Yakobus
1:5). Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan
dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi
dengan sukacita (2 Korintus 9:7).”[11]
Persepuluhan
tidak diwajbkan, namun memberi sesuai dengan berkat yang diperoleh—kadang lebih
dari PP, kadang kurang, it’s Ok. Dan
jangan lupa berdoa untuk meminta hikmat, kemudian berilah sesuai kerelaan hati. Karena tidak pro atau
pun kontra, penulis artikel ini menyarankan suatu stardar yang umum-umum dan
biasa saja,
“berdoa dahulu, gunakan hikmat, dan berilah tanpa paksaan”, selesai.
Berbeda dengan penjelasan di atas yang
meskipun tidak tegas namun masih jelas dan dapat dipahami, penulis tanyaalkitab.com
justru memberikan dasar argumentasi yang tidak jelas arahnya,
“Saya tidak akan
bilang apakah persepuluhan itu wajib atau harus, karena pasti akan ada yang
menyangkal dengan berkata bahwa itu hanyalah hukum taurat dan tidak pernah
diajarkan oleh Yesus. Namun yang saya tekankan di sini adalah bahwa ada JANJI
Tuhan dibalik persepuluhan ini. Kasih karunia Tuhan tidak ada syarat, tetapi
JANJI Tuhan bersyarat. Untuk mendapatkan JANJI Tuhan seperti yang ada di
Maleakhi 3:10 tadi, kita harus terlebih dahulu setia dalam persepuluhan. Benar
sekali hukum taurat bisa berakhir dengan adanya penggenapan oleh Tuhan Yesus,
tapi saya yakin JANJI Tuhan tidak akan pernah berakhir dan dibatalkan, sekali
Tuhan berjanji, Tuhan pasti akan menepatinya. Ya, JANJI Tuhan di sini adalah
berkat berkelimpahan dari Tuhan. Mau? Setialah dalam memberikan persepuluhan.
Tapi ingat, dalam memberi persepuluhan kita harus memberikannya dengan penuh
sukacita.”[12]
Untuk
menghindari polemik, si penulis mengeksegesis (atau mungkin eisegesis?) ayat
tersebut dengan satu sudut pandang baru yang berfokus pada “Janji Tuhan yang
tidak dapat dibatalkan” sebagai
iming-iming berkat. Eksegesis yang berbahaya ini memperlihatkan hal yang tidak konsisten
seperti kritik yang dilayangkan oleh kalangan kontra PP. Maksudnya, jika harus
konsisten untuk mempraktekkan PP dengan dalil ayat tersebut, maka si penulis
juga harus konsisten bahwa PP harus diberikan di “rumah perbendaharaan atau
salah satu bilik di bait Allah” dan “supaya ada persediaan makanan” sesuai
dengan bunyi ayatnya, terlebih perihal “janji Tuhan” yang ia tekankan. Suatu
argumentasi yang pro PP, dengan dalil penafsiran
yang berbahaya.
Pandangan Penulis Mengenai Persepuluhan.
Dilahir-barukan dalam komunitas gereja
yang mempraktekkan persepuluhan, tidak lantas membuat penulis hilang daya
kritik. Sebagai jemaat yang berusaha
untuk taat dan mengasihi Tuhan, kita
dituntut untuk menguji segala sesuatu terutama mengenai dasar-dasar keyakinan
yang kita pegang (1 Tes. 5:21) tak terkecuali mengenai praktek persepuluhan (PP) dalam ibadah gerejawi.
Pemahaman yang benar akan mendorong kita untuk memberikan dengan kesadaran dan
hati yang mengasihi Tuhan. Sebaliknya pemahaman yang keliru, akan menjerat kita
dalam keterpaksaan dan beban ketika memberikan PP.
Penulis secara pribadi masuk dalam
kelompok kedua yang pro dan mempraktekkan perpuluhan. Kalimat “mempraktekkan
perpuluhan” harus penulis tambahkan untuk menegaskan kepada pembaca bahwa
penulis bukan hanya menerima konsep PP dalam pemahaman teologis, namun juga
mempraktekkannya dengan setia.
Praktek tersebut bukan pula oleh karena persoalan “janji”
berkat Tuhan, namun semata-mata karena prinsip dasar dan pemahaman teologis
pribadi. Hal ini perlu ditegaskan karena
meskipun sebagian besar umat
Tuhan dalam gereja modern yang
pro PP, namun hanya sedikit yang setia mempraktekkan PP. Tentu saja hal itu
tidak memiliki makna apa pun selain hanya sebatas Lips service.
Tulisan ini dibuat pun oleh
karena dorongan teologis yang kuat untuk menjawab setiap kritik pemikiran
teologis yang berkembang terhadap praktek PP (yang terkadang bahkan dengan gaya
bahasa dan nada yang kasar). Karena punulis hanya merupakan jemaat (bukan
Pendeta atau Gembala Sidang) maka tentu tulisan ini tidak memiliki motif
tertentu yang menyesatkan dan mencoba untuk merauk keuntungan secara tidak
wajar dari Jemaat. Kiranya Tuhan menjauhkan dan menghukum siapapun yang mencoba
mengambil keuntungan pribadi dengan motif-motif yang sesat dari praktek PP
gerejawi.
Menjawab Pihak Kontra PP.
Pada bagian awal, penulis akan mengkrisi dasar
argumentasi kalangan kontra terhadap PP yang diwaliki oleh penulis sarapanpagibiblika. Seperti
yang telah dijabarkan di atas, pihak yang kontra terhadap PP mengemukakan tiga
dasar sebagai argumentasi mereka terhadap praktik PP yang tidak lagi relevan
bagi gereja. Argumentasi ini disusun secara sistematis berdasarkan
tiga poin keberatan yang diberikan beserta tanggapannya.
Argumen pertama,
bahwa praktik PP (Persepuluhan)
tidak lagi relevan dalam konsep persembahan gerejawi karena merupakan konsep
persembahan ibadah Perjanjian Lama yang masih terikat dengan sistem keimaman,
Taurat, dan berpusat pada bait
Allah. Sementara gereja dalam masa Perjanjian Baru setelah kedatangan Kristus
memiliki pola yang berbeda karena,
“Bersama kematian YESUS, semua upacara dan simbol-simbol agama yang dimiliki orang Yahudi telah dipakukan pada salib-Nya dan dikuburkan! tidak pernah muncul lagi untuk menghukum kita. Dengan alasan ini kita tidak pernah melihat orang-orang Kristen memberikan perpuluhan di dalam Perjanjian Baru.”[13]
Pemahaman demikian adalah pemahaman
yang tidak tepat dan salah kaprah. Kematian Kristus memang “meniadakan hukum Taurat” sebagai
penggenapan di dalam kematian-Nya. Akan tetapi jenis “Hukum Taurat” mana
yang dimaksud, perlu diperjelas. Di dalam Surat Efesus mamang tertulis bahwa,
“Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untukmenciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (Ef. 2:15).
Namun
bukan berarti semua Hukum Taurat dibatalkan! Jika “Semua” dibatalkan, maka akan
terjadi kekacauan dalam kehidupan umat Tuhan. Bayangkan, hukum Taurat (Sepuluh
hukum Musa) yang melarang orang untuk tidak membunuh, mencuri, memperkosa, menghormati
Tuhan dan orang tua, kini telah batal dan menjadi boleh hanya karena penafsiran
ngawur dari ayat ini. Bagaimana mungkin
Ia dapat “mengadakan damai sejahtera” jika semua hukum moral juga ikut
dibatalkan? Penafsiran generalisasi demikian merupakan penafsiran yang keliru.
Namun BP, penulis sarapanpagibibilika
menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa hukum-hukum moral terebut sudah
digantikan dengan dua “hukum kasih Kristus” (Mat.22:37-40),
Demikianlah perbuatan-perbuatan dosa yang dalam Taurat hanya disorot secara Fisik, dalam Hukum Kristus disorot secara Moral-Spiritual. Dan Hukum Taurat yang termasuk 10 Firman di dalamnya pun sudah digenapi oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Dengan 2 macam hukum saja, Kasih kepada Allah dan Kasih kepada manusia. Yesus Kristus telah menetapkan HUKUM BARU yaitu HUKUM KASIH, karena KASIH telah memenuhi tuntutan hukum Taurat.”[14]
Memang benar bahwa hukum Kasih adalah kegenapan dari Hukum Taurat dan
memenuhi setiap tuntutannya. Namun bukan berarti bahwa Tuhan Yesus membatalkan
Hukum Moral Musa. Pernyataan demikian adalah pernyataan yang keliru. Kalimat “sudah
digenapi”, dan dilanjutkan dengan
penegasan bahwa “Yesus Kristus telah
menetapkan HUKUM BARU yaitu HUKUM KASIH” tidak mengindikasikan bahwa terdapat penggantian hukum-hukum moral, namun
lebih bersifat rangkuman dan penyempurnaan, bukan penggantian. Jika saudara
merangkum suatu buku kedalam dua lembar kertas, itu bukan berarti Saudara
mengganti isi buku tersebut, namun merangkum/meringkasnya menjadi dua
halaman.
Kita paham bahwa Kristus
tidak membatalkan hukum-hukum Taurat (baca : Hukum Moral) Musa, namun
menyempurnakan dan meringkas ke dalam dua hukum, “Pada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (ay. 40). Istilah “Menetapkan
hukum baru” dengan “Menyempurnakan dan meringkas” adalah dua hal yang sangat
berbeda! Di sini letak kekeliruan BP, penulis sarapanpagibiblika yang terlalu memaksakan asumsi mengenai pembatalan
semua ketentuan hukum Taurat menurut Efesus 2:15 yang juga harus mencakup praktek
PP.
Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa perihal hukum Taurat terdiri dari tiga spesifikasi
besar yang mengatur kehidupan umat Israel Perjanjian Lama berdasarkan konteks
kehidupan mereka yaitu, “Hukum Seremonial”, “Hukum Sipil” dan “Hukum Moral”. Hukum
Seremonial berbicara mengenai korban-korban persembahan, tata cara ibadah, pembasuhan,
dan hari-hari raya. Hukum sipil mengatur kehidupan umat Israel dalam hubungan
sosial dan politik
mereka yang berlaku situasional (“situasional” karena dapat
berubah sewaktu-waktu, misalnya ketika umat Israel berada dalam pembuangan dan
penjajahan bangsa asing). Dan yang terakhir, Hukum moral
merupakan serangkaian aturan moral dan etika yang berlaku secara mutlak kapan pun dan dimana pun.
Sementara
konteks ayat ini (Ef. 2:15) sedang
berbicara mengenai “Hukum seremonial” yang memang merupakan rujukan sekaligus penggenapan nubuatan bagi
penebusan Kristus melalui
kematian-Nya. Hukum ini digenapi oleh Kristus,
maka yang lama ditiadakan dan
digantikan dengan yang baru di dalam Kristus. Tidak ada lagi korban-korban bakaran dan keselamatan karena
telah digenapi oleh kematian Kristus sebagai simbol penebusan satu kali dan
selama-lamanya. Sampai pada
pemahaman ini, BP, penulis sarapanpagibiblika
dan penulis memiliki pemahaman yang sama (hukum seremonial), namun ketika ia
bertolak lebih jauh dengan mengaitkan PP dengan sistem sosial dan keimaman yang
baku dalam tata ibadah PL, menjadi titik perbedaan penulis dengannya. BP
menjelaskan,
“...persepuluhan merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan dipisahkan secara khusus untuk melayani Tuhan”.
Argumentasi demikian merujuk pada kesimpulan bahwa PP menyatu dengan
praktek ibadah PL yang tergolong dalam
Hukum Taurat (Seremonial), maka praktek PP pun ikut dibatalkan/dihilangkan
melalui karya salib Kristus sesuai dengan Efesus 2:15.
Tentu saja keliru. Alkitab
tidak pernah mengatakan bahwa “PP dibatalkan”. Tidak ada dalil Alkitab dimana
pun yang menyatakan bahwa PP ikut dibatalkan pasca penebusan Kristus! Bahkan
ayat tersebut pun tidak. Kalimat “dengan
segala perintah dan ketentuannya” hanya mengacu pada pembatalan sistem
korban dan imamat seperti yang ditunjukan ayat-ayat silang yang berhubungan
dengan penjabaran “pembatalan hukum seremonial” tersebut. Keseluruhan dari
keterangannya mengacu pada “kematian Kristus yang menggantikan sistem korban
bakaran dan keselamatan” (Yoh. 1:29; Ibr. 9:12, 28) dan bukan pada pembatalan
PP.
Memang konsekuensi dari
peniadaan Hukum Seremonial karena pengorbanan Kristus adalah ketiadaan sistem
imamat pada pelayanan di Bait Allah sehingga tidak ada lagi sistem jabatan Imam
dan Lewi. Dengan demikian menurut mereka, PP juga dibatalkan sebagaimana
fungsinya untuk menyokong kalangan Imam dan Lewi. Hal ini yang seringkali
digunakan sebagai dalil bahwa umat Perjanjian Baru adalah imamat yang rajani itu
sendiri (1 Pet. 2:9), yang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa
perantara Imam di Bait Allah. Dari sini, mereka kemudian berasumsi, jika semua umat
PB merupakan imam dengan demikian bukankah PP harus diberikan kepada semua umat
yang adalah imam juga?
Namun pernyataan ini
sesungguhnya keliru secara historis, logis dan eksegesis. Secara historis,
bagaimana mungkin Abraham, Ishak (jika mungkin ditambahkan), Yakub, yang tidak
hidup dalam sistem Imamat di Bait Allah, namun dalam sistem keimamatan personal
juga mempraktekkan PP? Jika PP hanya berhubungan dengan “Imam dan Lewi” serta
“Bait Allah”, lantas bagaimana kalangan kontra menjawab hal ini? Secara logis,
bagaimana mungkin kita yang menjadi “imam” bagi diri sendiri namun masih
beribadah dengan berpusat di gereja yang justru dipimpin oleh seorang “imam
lain”? Bukankah ini kontradiktif? Lantas jika kita adalah imam, mengapa kita
masih memohon doa dari “imam lain juga” yang kita sebut sebagai “Gembala” kita?
Secara eksegetikal, ayat tersebut (1 Ptr. 2:9) tidak sedang berbicara mengenai
“persembahan” dan “sokongan dana bagi imam/lewi”, namun mengenai status baru orang
percaya di dalam Kristus Sang Batu penuru, panggilan untuk hidup mempermuliakan
Tuhan serta meneladani Kristus Sang Gembala agung (Baca secara utuh pasal 2).
Lebih jauh, secara historis
kita dapat melihat suatu kebenaran yang tegas mengenai PP. PP merupakan komitmen
serta ucapan syukur pribadi atas berkat Tuhan (Abraham—Kej. 14:20; Yakub—Kej.
28:22) yang tidak terikat oleh sistem peribadatan di Bait Allah maupun pajak
ekonomi seperti pernyataan penulis sarapanpagibiblika.
PP telah hadir dan dipraktekkan sebelum hukum-hukum Taurat Musa diturunkan dan
dipraktekkan. Itu sebabnya PP terpisah dari Hukum Seremonial yang berpusat di
Bait Allah dan umat Israel. Dengan kata lain, PP dapat dipraktekkan terpisah
maupun menyatu dengan Taurat. Memang pada perkembangannya Allah kemudian
menetapkan konsepsi ini sebagai suatu hukum formal bagi Umat Israel, namun
bukankah secara historis, PP terpisah dan dapat dipraktekkan tanpa sangkut
pautnya dengan Bait Allah dan Umat Israel? Bukankah Abram (nama Abraham yang
bahkan jauh sebelum ia bertobat) sudah mempraktekkan PP? Bukankah Yakub juga
melakukannya? Dan bukankah mereka melakukannya secara pribadi dan tidak
berpusat pada Bait Allah? perlu penulis tegaskan bahwa, PP
berbicara mengenai “apa yang menjadi milik Allah” bukan berbicara mengenai
“sistem peribadatan” apalagi “sistem
ekonomi sosial”.
Jika Yakub, sang cucu
Abraham melakukannya, maka hal itu berarti terdapat suatu pengajaran dan
tradisi lisan yang diwariskan oleh Abraham kepada keturunannya, dan semua hal
ini dilakukan jauh sebelum hukum Taurat ada. Mereka melakukan semua ini
berdasarkan pada “mata iman yang tertuju kepada anugerah dan berkat Allah” dan
bukan pada keterpaksaan atau hukum Taurat yang mengikat. Bukankah dasar
teologis serupa juga yang menjadi esensi dari gereja-gereja (yang pro) mempraktekkan
PP? Lantas dimana salahnya? Bukankah dasar argumentasi ini juga yang
dikemukakan oleh penulis sarapanpagibiblika
ketika ia mengomentari praktek PP Abraham yang katanya memberikan berdasarkan “free-giver” (tidak berdasarkan
hukum yang mengikat)?[15]
Kedua, jika hal ini
berkaitan dengan sistem perpajakan “untuk mendukung orang miskin” dan “Imam
serta Lewi” seperti argumentasi yang dikemukakan penulis sarapanpagibiblika, lantas mengapa “orang asing pun” ikut menerima
bagian dan menikmati persembahan PP (Ul. 14:29)? Hal ini tentu merupakan suatu keganjilan.
Atau lebih jauh, bagaimana kita akan menjawab mengenai praktek PP yang dilakukan
di jaman Bapa-bapa Patriak Israel (Abraham, Ishak dan Yakub), untuk
kesejahteraan siapa PP yang mereka berikan tersebut? Bukankah di zaman mereka
Umat Israel belum ada, lantas untuk “pajak kesejahteraan sosial siapa”? Lebih
spesifik lagi, jika PP berhubungan dengan perpajakan dan kesejahteraan masyarakat
miskin, lantas mengapa Abraham memberikan PPnya kepada “Melkisedek, Raja Salem”
(Kej. 14:18)? Bagaimana mungkin seorang “Raja Salem” masih membutuhkan santunan
dana “hibah penunjang ekomoni” dari Abraham untuk kesejahteraannya, padahal ia
adalah seorang Raja yang tentu memiliki kekayaan yang cukup bahkan mungkin
melimpah?
Atau jika disorot dalam dalil
lain, BP (sarapanpagibiblika) menulis
bahwa, “Abraham memberikan persepuluhan kepada
imam Melkisedek (Kejadian 14:18-19), ini dikarenakan para imam
dikhususkan untuk pelayanan agama”.[16]
Sederhananya, ia mau mengatakan bahwa Melkisedek
menerima PP dari Abram itu oleh karena ia pun seorang imam Allah yang artinya
PP dalam zaman Abraham dan Umat Israel itu sama saja. Namun jika dasar ini
digunakan sebagai dalil teologis yang logis, maka kalangan pro PP akan lebih
leluasa memiliki dasar argumen yang lebih kuat untuk mempraktekkan PP. Mengapa?
Karena pertama, PP pada zaman Melkisedek tidak terikat pada sistem Bait Allah
sebagaimana Melkisedek tidak bertugas dan terikat di Bait Allah, maka hal
tersebut dapat juga dipraktekkan pada gereja Tuhan yang berbeda dan tidak
berpusat dan terikat di Bait Allah. Dan kedua, karena Melkisedek bukanlah
keturunan Lewi yang secara khusus diberi jabatan Imamat, maka seperti
Melkisedek, para hamba Tuhan yang non-Lewi yang juga bertugas menyelenggarakan
pelayanan ibadah gerejawi pun dapat mempraktekkan dan menerima PP.
Dalam argumentasi lain yang
penulis lampirkan dari sumber berbeda, terdapat pula argumentasi yang mirip.
Argumentasi ini dikemukakan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban sebagai
berikut,
Pertanyaan: Ketika Abraham memberikan sepuluh persen hasil
jararahan kepada Melkisedek, hukum taurat belum berlaku. Apakah kita juga harus
memberi persepuluhan seperti Abraham ? Jawaban:
Abraham memberikan persepuluhan bukan karena perintah Tuhan, seperti orang
Israel diperintahkan Tuhan. Abraham memberikan dengan sukarela. Bahkan, Alkitab
mencatat Abraham hanya satu kali saja memberikan persepuluhan selama
hidupnya. Kalau kita meniru Abraham, berarti cukup satu kali saja seumur
hidup memberi persepuluhan.[17]
Ini tentu sebuah jawaban yang keliru. Abraham memang memberikan berdasarkan
sukarela dan bukan karena tuntutan hukum, namun itu bukan berarti bahwa Abraham
hanya memberikan sekali saja oleh karena Alkitab tidak mencatatnya. Banyak hal
yang memang tidak dicatat Alkitab, namun hal itu merupakan suatu TRADISI LISAN
YANG DITURUNKAN, seperti misalnya pengajaran firman Tuhan oleh adam kepada
Hawa. Bukankah Alkitab tidak menuliskan bahwa Adam tidak pernah mengajarkan
firman Tuhan kepada Hawa? Lantas darimana kita tahu bahwa Hawa mengetahui
firman Tuhan yang semula diungkapkan Allah kepada Adam? Atau bagaimana Abraham
tahu bahwa ia harus mempersembahkan sepersepuluh kepada Melkisedek? Darimana ia
tahu bahwa jumlahnya harus “sepersepuh” dan harus diberikan kepada “Imam”?
tentu hal ini sudah menjadi suatu tradisi lisan yang diwariskan, sebagaimana
yang juga dipraktekkan oleh Yakub.
Kemudian coba kita perhatikan
bagaimana Yakub memberikan persepuluhannya,
“Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu." (Kej. 28:22).
Dua kalimat yang saya tegaskan dalam ayat ini memberikan penegasan yang lebih
real lagi tentang tradisi pemberian PP pada zaman para Patriak Israel yang
sudah menjadi suatu tradisi. Kalimat, “dari segala sesuatu yang Engkau berikan”
memberikan penegasan bahwa Yakub akan selalu memberikan persepuluhan dari
setiap berkat Tuhan yang ia terima! Jadi argumentasi demikian tidak cukup kuat
untuk menolak konsepsi PP.
Sekali lagi, PP secara
historis pada awalnya bukan berkaitan dengan sistem perpajakan dan
kesejahteraan siapapun, namun berkaitan dengan kesadaran iman dan komitmen mengembalikan
apa yang menjadi berkat Tuhan bagi umat-Nya. Baru setelah pada zaman Musa,
karena perkembangan teologis, sosial,
dan geografis, Tuhan kemudian
menggunakan konsep ini sebagai pendukung ekonomi sosial bagi para Iman, Lewi
dan kaum Marginal. Argumentasi pertama ini bagi saya hanya merupakan asumsi
semata. Tidak ada bukti Alkitab secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan
bahwa “Karya salib Kristus membatalkan PP”, yang ada hanya asumsi yang
dipaksakan.
Argumen Kedua,
tidak ada dasar dalam Perjanjian Baru yang menerankan secara eksplisit maupun
implisit mengenai PP. BP berargumentasi
bahwa,
“Dengan alasan ini (penebusan Kristus) kita tidak pernah melihat orang- orang Kristen memberikan perpuluhan di dalam Perjanjian Baru. ...Persepuluhan, sekalipun alkitabiah, bukan Kekristenan. YESUS KRISTUS tidak menyatakan hal itu ... Persepuluhan hanya disebutkan 4 kali dalam Perjanjian Baru tetapi tidak satu pun dari konteks itu diaplikasikan kepada Kekristenan. Sekali lagi, persepuluhan merupakan bagian dari Perjanjian Lama dimana sistem perpajakan dibutuhkan untuk mendukung orang miskin dan dalam masa dimana sebuah keimamatan dipisahkan secara khusus untuk melayani Tuhan.
Argumentasi demikian
merupakan argumentasi yang sesat pikir. Bagaimana mungkin kita mengharapkan Tuhan
Yesus mengajarkan dan menganjurkan PP kepada Umat PB, sementara pada zaman itu
Jemaat Perjanjian Baru belum ada, seluruh pengikut-Nya pun penganut Yudaisme
taat yang patuh PP, dan tentu saja peribadatan Tuhan Yesus dan para Rasul masih
terpusat di Bait Allah yang juga mempraktekan PP. Itu sebabnya, kritikan yang
diberikan Tuhan Yesus kepada ahli Taurat dan Farisi itu tidak lagi mengenai
“ketidak-taatan praktek PP”, tetapi penyimpangan perilaku (Mat. 23:23). Jadi
bagaimana mungkin Tuhan Yesus harus mengajarkan PP ditengah umat yang sudah
patuh PP dalam konteks zaman itu?, masakan kita memaksakan kehendak untuk
sekedar mencari dasar biblikal bagi Gereja agar dapat mempraktekkan PP padahal
konteks historisnya tidak memungkinkan? Justru akan terlihat tidak nyambung dan
bodoh jika Tuhan Yesus harus mengajarkan praktek PP di tengah umat yang sudah
melek PP. Ini merupakan suatu pemaksaan asumsi yang menyesatkan.
Namun jika argumentasi ini
harus diterima, maka dengan dalil yang sama kita pun dapat mengajukan argumen
bahwa Tuhan Yesus juga tidak pernah menyinggung atau melarang bahwa “Gereja-Nya
tidak boleh mempraktekkan PP”. Bukankah sepangjang pengajaran-Nya, Ia juga
tidak pernah melarang pengikut-Nya untuk memberikan PP? Tidak ada dalil di
dalam Perjanjian Baru yang melarang praktek PP sebagaimana asumsi kalangan
kontra bahwa “tidak ada dasar PB untuk mempraktekkan PP”.
Argumen ketiga,
sepanjang sejarah gereja khususnya gereja
purba, tidak pernah dijumpai kesaksian atau bukti historis tentang praktek
persepuluhan. BP berargumentasi,
Kekristenan abad pertama tidak melakukan hal tersebut dan selama 300 tahun umat Allah tidak mempraktekkannya. Persepuluhan tidak menjadi praktek yang diterima meluas di kalangan Kekristenan sampai abad ke- delapan.
Memang benar, bahwa praktek PP
dalam sejarah gereja purba tidak dijumpai selain dari usulan yang sempat diajukan
(atau mungkin juga dipraktekkan? Kita tidak memiliki data sumber yang valid) oleh
Cyprian (200-258 M) pada paruh abat ke-3M. Ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, sebagian
besar gereja hingga abat ke 8 tidak mempraktekkan PP seperti usulan Cyprian
bisa saja terjadi oleh karena kepemimpinan gereja menyatu dengan pemerintahan
negara, itu artinya kesejahteraan gereja dan kaum clergy (Pendeta) sudah
dijamin dan terpenuhi oleh negara, sebagaimana Vatikan hari ini. Lantas jika
semua telah terpenuhi, maka akan sangat dimungkinkan bahwa PP memang sengaja
ditiadakan untuk mendukung kaum Clergy karena telah terpenuhi oleh pemerintah
negara (Baik kekaisaran Timur maupun Barat).
Pertimbangan lainnya yang
perlu diperhatikan adalah bukan karena suatu konsep/ide teologis tidak
dipraktekkan dalam jangka waktu tertentu lantas hal ini dapat dijadikan dasar
penolakan terhadap konsep tersebut. Bukankah secara historis konsep “Sola Gratia”
Luther (melanjutkan pengajaran Agustinus pada abat ke-4 yang redup) baru muncul
kembali pada abat ke-16 dan diterima secara terbuka oleh gereja-gereja
Reformasi? Lantas apakah kita akan menolak konsep ini juga? Tentu saja tidak.
Lebih absurd lagi,
argumentasi historis ini akan menjadi suatu argumen yang non sense karena secara historis kekirstenan abat pertama justru
memberikan persembahan mereka kepada para Rasul (KPR 5:2; Fil. 4:18), lantas mengapa
kekristenan modern memberikan persembahannya di gereja? Bukankah jemaat mula-mula
juga tidak pernah mengenal konsep gereja yang terkonsentrasi di suatu gedung
bangunan dan berorganisasi seperti saat ini? Di sini kita melihat ketidak
sesuaian historis dan data Alkitab, serta ketidak-konsistennya argumentasi ini.
Singkatnya jika ingin konsisten sesuai dengan data Alkitab dan sejarah gereja
purba, maka seharusnya para pengkritik PP juga tidak usah memberikan
persembahannya ke Gereja, karena jemaat Kristen perdana tidak pernah memberi mengenal
kosep persembahan yang terkonsentrasi di suatu tempat (Gereja seperti saat ini),
layaknya Bait Allah tetapi langsung kepada para Rasul.
Terakhir, ditinjau dari sisi
sejarah gereja, perlu diperhatikan bahwa Gereja pada zaman pasca pertobatan
Kaisar Konstantin berpusat serta menyatu dengan pemerintahan Negara dan
berlangsung secara berkesinambungan hingga zaman Reformasi Protestan. Disini
sejarah membuka mata kita tentang fakta-fakta mengenai dukungan dana yang secara
langsung digelontorkan oleh kas Negara kepada pelayanan gerejawi termasuk dalam
hal menjamin kehidupan para Pastor. Pasca
reformasi Protestan pun hal ini masih berbekas pada sebagian Gereja-gereja
Reformasi, tengoklah para penginjil yang dikirim dari Belanda dan Portugis pada
abat ke 17-18, bukankah mereka didukung penuh oleh pembiayaan kas Negara? Itu
sebabnya, kehidupan dan pelayanan para hamba Tuhan tidak lagi perlu ditopang
oleh “dana hibah” jemaat.
Argumen Keempat
(tambahan). Dalam beberapa
kritik yang dilancarkan oleh kalangan kontra PP, satu argumentasi yang juga
dikemukakan adalah,
“PP tidak
pernah diberikan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk hasil bumi dan ternak.
Tidak ada dasar Alkitab yang mendukung pemberina PP dalam bentuk uang”.[18]
Sepintas argumentasi demikian terlihat kuat dan meyakinkan, namun jika
ditelusuri lebih dalam, argumen demikian sesungguhnya argumen yang absurd
karena beberapa alasan mendasar. Pertama, pada zaman Musa hingga pasca
pembuangan, masyarakat pada zaman tersebut belum mengenal uang sebagai alat
transaksi dan upah kerja yang sah. Istilah “uang” memang dipergunakan beberapa
kali namun tidak pernah merujuk pada nilai/nominal “mata uang” dalam pengertian
modern. “Uang” dalam zaman itu hanya berupa potongan logam yang ditimbang
sesuai dengan kesepakatan bersama sebagaimana komentar Kamus Alkitab berikut, “Pada
waktu Yusuf mengumpulkan uang orang Mesir sebagai pembayaran gandum (Kej.
47:14-17), uang itu lebih berupa potongan-potongan logam daripada mata uang.”[19]
Kedua, masyarakat Timur
dekat kuno pada zaman Perjanjian Lama semuanya memiliki profesi pekerjaan yang
serupa, yaitu petani dan peternak. Hasil (atau berkat) yang mereka terima pun
sudah pasti berbentuk pangan dan ternak, bukan berupa upah dalam bentuk uang
seperi zaman modern ini, maka memaksakan kehendak untuk menafsirkan bahwa “tidak
ada PP yang diberikan dalam bentuk uang”, adalah sebuah argumentasi yang sangat
tidak masuk akal serta out of context.
Bagaimana mungkin orang pada zaman itu belum mengenal “mata uang” sebagai alat
transaksi sah serta upah kerja, kemudian dijadikan dasar penafsiran sebagai
alasan bahwa tidak ada dalil mengenai PP yang berupa uang? Ini merupakan suatu
kesesatan.
Ketiga, jika ingin
dipaksakan bahwa haruslah ada dasar bahwa PP juga dapat berupa “uang” meskipun
uang dalam [pengertian sederhana pada saat itu. Dengan demikian, dapat
dijadikan rujukan (minimal petunjuk praktis) sebagai panduan pemberian PP pada
zaman modern. Untuk menjawab hal ini, sebenarnya kita juga memiliki dasar ayat
yang menyatakan secara eksplisit, perhatikan Ulangan 14:22-25 berikut,
Haruslah engkau benar-benar
mempersembahkan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu,
tahun demi tahun. ... Apabila, dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu, jalan
itu terlalu jauh bagimu, sehingga engkau tidak dapat mengangkutnya, karena
tempat yang akan dipilih TUHAN untuk menegakkan nama-Nya di sana terlalu jauh
dari tempatmu, maka haruslah engkau
menguangkannya dan membawa uang itu dalam bungkusan dan pergi ke tempat yang
akan dipilih TUHAN, Allahmu.
Sekali lagi, meskipun “uang” dalam konteks ayat ini tidak merujuk kepada “mata
uang” dalam pengertian modern, namun kita tentu memiliki petunjuk praktis yang
dinyatakan Alkitab untuk tetap dapat menggunakan “uang” sebagai cara praktis
dalam mengembalikan PP. Dengan demikian, argumen absurd tersebut gugur.
Kritik Bagi Dasar Argumentasi PP dan Persembahan Gerejawi.
Disisi lain, kalangan yang
kontra PP menggunakan beberapa ayat yang diajukan sebagai dalil utama argumen
mereka dalam konsep yang tepat bagi persembahan gerejawi. Berikut argumen yang
dikemukakan BP,
Persembahan
yang benar digambarkan oleh rasul Paulus sebagai berikut: "Karena itu saudara-saudara, dengan kemurahan Allah aku
menasehatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang
sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:1-2). Jadi, persembahan Kristen yang benar adalah kesadaran bahwa seluruh
tubuh dan harta kita adalah milik Tuhan, maka kita harus menjadikannya sebagai
alat menyatakan buah-buah kasih kepada gereja, persekutuan, pelayanan kristen,
dan menolong sesama kita yang berkekurangan, itulah persembahan kita kepada
Tuhan.[20]
Tetapi argumentasi ini memiliki kekeliruan dalam penafsiran. Pertama,
Persepuluhan bukanlah jenis “persembahan”, tetapi milik Tuhan yang perlu
dikembalikan seperti penegasan Pak Tong yang didasari atas dalil Imamat 27:30.
Kedua, penafsiran BP adalah penafsiran yang out
of teks. Ayat tersebut tidak sedang berbicara mengenai persembahan gerejawi
dalam arti harfiah pada liturgi ibadah gereja, namun sedang membahas mengenai
anugerah Allah yang perlu direspons dengan ucapan syukur dan pelayanan yang
sepenuh hati untuk Tuhan (Baca Roma 11 dan 12 secara keseluruhan). Jika ingin
dipaksakan penafsiran dari ayat ini pun maka seharusnya kita (geraja) tidak
perlu mempersembahkan persembahan dalam bentuk uang atau apapun, selain
daripada “mempersembahkan tubuh!”.
Selebihnya, penulis justru
ingin tahu seberapa besar persembahan yang diberikan itu untuk dapat
dikategorikan sebagai “mempersembahkan tubuhmu sebagai
persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”. Bukankah betapa kurang ajarnya
jika Saudara hanya memberikan “sisa recehan yang seharga ongkos parkir itu” dan
Saudara katakan itu persembahan yang kudus dan berkenan kepada Tuhan? Jika PP
saja ditolak maka penulis sangsi, kalangan kontra PP dapat melakukan apa yang
BP, penulis sarapanpagibiblika
argumentasikan di atas, “Jadi, persembahan
Kristen yang benar adalah kesadaran bahwa seluruh tubuh dan harta kita adalah
milik Tuhan.”
Ayat kedua yang sering
digunakan sebagai dasar argumentasi praktek persembahan gereja adalah,
“Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7).
Sekali lagi konteks ayat ini
mengkonfirmasi kekeliruan penafsiran jika ayat tersebut dipaksakan sebagai
satu-satunya dalil yang valid bagi konsepsi persembahan gerejawi. Konteks ayat
ini tidak sedang berbicara mengenai “persembahan” dalam artian ibadah formal,
namun merupakan pemberian dukungan bagi sesama saudara seiman. Persembahan ini
lebih bersifat diakonial antar Jemaat Yerusalem, Makedonia, dan Korintus yang
secara langsung diprakarsai oleh Rasul Paulus. Maka tidaklah tepat secara
konteks jika ingin dipertahankan sebagai konseop persembahan gerejawi, selain
hanya dapat diaplikasikan sifat dan nilai praktisnya.
Dari sudut nilai dan sifat
praktisnya, memang benar bahwa pemberian harus dengan kerelaan dan sukacita,
lantas salahnya di mana jika kalangan pro yang mempraktekkan PP juga memberikan
dengan kerelaan dan sukacita? Namun hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa
argumen demikina merupakan dalil terselubung untuk “menolak memberikan
persembahan dalam jumlah besar” dan bukan berdasarkan sikap rela atau sukacita.
Tentu saja, secara naluriah semakin besar pemberian persembahan seseorang maka
“semakin hilang pula sukacita dan kerelaan”. Lihatlah contoh kasus Ananias dan
Safira, uang persembahan yang begitu besar pada akhirnya menjebak mereka dalam
penipuan yang mematikan. Itu sebabnya, hanya orang-orang tertentu saja yang
dapat mempraktekkan ayat ini dengan sungguh-sungguh dalam praktek persembahan
yang bernilai besar dengan hati yang tulus, rela, dan sukacita, bahkan mereka
yang mempraktekkan PP sekalipun belum tentu mampu memberi dengan sikap hati
seperti ayat ini.
Kedua ayat ini menjadi dasar
praktek persembahan gereja modern. Namun perlu penulis sampaikan bahwa
menggunakan kedua ayat ini menjadi dasar persembahan dalam gereja modern pun
adalah sebuah kekeliruan. Karena konteks persembahan pada zaman pelayanan
Rasul-rasul adalah persembahan diakonial bagi penginjilan dan pelayanan Rasuli.
Tidak pernah ada persembahan yang diberikan ke gereja seperti saat ini. Maka
jelas, jika kalangan kontra PP ingin konsisten dalam mempraktekkan persembahan,
maka gereja sebagai sentral pusat peribadatan kristiani modern saat ini justru akan
menjadi tidak cocok dan tidak tepat sesuai dengan ayat-ayat tersebut.
Disini kita melihat bahwa
kalangan kontra PP ternyata menggunakan ayat-ayat tersebut secara out of context untuk sekedar mencari dan
mengadopsi suatu “pola” dan “konsep” dasar dalam penerapannya bagi persembahan gerejawi.
Sesungguhnya pendekatan demikian juga yang digunakan oleh kalangan pro PP
ketika mereka mengadopsi “pola” dan “konsep” PP untuk diterapkan pada konsep
ibadah gerejawi. Jika pola dan pendekatan yang digunakan sama, lantas mengapa kalangan
pro PP selalu dikambing hitamkan?
Secara implisit kita justru
mendapati sisi buruk dari sentimen-sentimen pribadi yang lebih menonjol,
daripada kejernihan penafsiran dan argumentasi yang alkitabiah. Tentu tidak
keliru jika kita menggunakan konsep atau pola-pola Alkitab dalam pendekatan bagi
praktek persembahan gerejawi. Baik persembahan diakonial maupun PP merupakan
dua pola yang sama-sama diadopsi dari kesaksian Alkitab. Maka tidak ada
salahnya kedua konsep tersebut digunakan dan dipraktekkan selama pengelolaannya
dapat dipertanggungjawabkan dengan benar.
Catatan dan Penutup.
Meskipun penulis setuju
dalam hal konsep dan praktek PP, namun bukan berarti penulis menutup mata untuk
mengkritik sebagian besar pengelolaan dana PP yang tidak bertanggungjawab oleh oknum-oknum
kalangan gereja yang pro. Kecenderungan menyesatkan untuk memonopoli keuangan
gereja, khusnya bagi gereja-gereja modern yang otonom, telah mendatangkan
dampak buruk dan stigma negatif yang digeneralisasi bagi hampir semua gereja
yang berbasis otonom dan pro PP.
Untuk itu kesadaran akan
makna penting bahwa PP adalah milik Tuhan, dipertanggungjawabkan dihadapan
Tuhan dan Jemaat, seharusnya mendorong kalangan pro PP untuk mengelolanya
secara bertanggungjawab (terbuka dan transparan) bagi kelangsungan pelayanan
serta pekerjaan Tuhan di gereja lokal.
Meskipun tulisan ini dinarasikan
secara apolgetik, namun sekali lagi tulisan ini tidak ditujukan sebagai sebuah pembenaran
yang membabi-buta, apalagi mencari keuntungan pribadi. Sungguh sangat tidak
terpuji dan sebuah pelanggaran etika berat jika kita menggunakan dalil-dalil
Kitab Suci hanya demi memperoleh
keuntungan pribadi. Kemudian, terlepas dari gereja dan denominasi apa Saudara
bernaung, argumen-argumen yang penulis sajikan pun tidak dimaksudkan untuk
memaksa agar Saudara yang kontra PP (memiliki pemahaman teologis yang berbeda)
ikut mempraktekkan PP. Tulisan singkat ini hanya merupakan kajian teologis dari
keyakinan dasar penulis untuk mencoba memberikan pondasi teologis dan
apologetis bagi Saudara-saudara yang pro PP. Kiranya Tuhan memimpin dan
menjernihkan hati kita dari motif-motif, asumsi-asumsi, serta tuduhan-tuduhan
terselubung yang menyesatkan. Tuhan Memberkati, Salam.
[1] Sumber-sumber yang
penulis gunakan hanya sebagain kecil saja dari beragam sumber lain, dan dengan
tanpa mengurangi rasa hormat bagi mereka. Sumber-sumber tersebut merupakan para
Tokoh Kristiani yang telah dikenal luas, dan memiliki pemahaman dan pengajaran
yang cukup baik sehingga dapat dijadikan rujukan.
[2] Lihat pembahasannya
di sini: http://www.sarapanpagi.org/persepuluhan-vt315.html. Penulis
web ini menjabarkan pandangannya dengan sangat baik, sehingga dapat merangkum
dan mewakili kalangan yang kontra PP.
[7] Dua situs ini saya
gunakan sebagai bahan presentasi karena merupakan dua sumber yang paling sering
digunakan sebagai rujukan pengajaran Kristiani terutama berkaitan dengan
isu-isu kontemporer.
[10]
http://www.sabda.org/pesta/node/627
[11]https://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.html.
[14]
http://www.sarapanpagi.org/persatuan-antara-org-yahudi-non-yahudi-dlm-jemaat-kristus-vt3138.html#p17547
[17]
https://saulsiagian.com/2016/08/19/tanya-jawab-serputar-persepuluhan/
[20]
http://www.sarapanpagi.org/persepuluhan-vt315.html